5 September, 22:24.
Hari ini Cameron ke rumah untuk kukenalkan pada orangtuaku. Sejujurnya dia memberikan kesan yang baik. Ayahku biasa menanggapi hal-hal semacam ini dengan serius, seperti saat Bella, kakakku, mulai berkencan dengan Zach; dia meminta dia datang untuk makan malam seperti ini.
Cameron tiba sekitar pukul enam sore. Dia membawa bunga dan makanan Italia karena aku bilang hal itu akan membuat ibuku terkesan. Ayah membukakan pintu untuknya. Awalnya aku tidak tahu kalau ayah yang menjamunya, jadi aku santai. Tapi ketika aku melihat enam pesan baru di ponselku, aku hampir histeris.
Cameron: Steph, ayahmu yang membukakan pintu. Aku bilang aku sedang mengirimi ibuku pesan.
Cameron: Dia terus menatap kepadaku dan itu membuatku panik. Tolong selamatkan aku.
Cameron: Dia sudah menatap ke arahku selama dua menit!
Cameron: Dia mengajakku keluar untuk bicara. Aku mungkin tidak akan kembali ke rumahmu dengan selamat.
Cameron: S!!!! Cepat selamatkan aku!!!
Aku tertawa membaca pesan-pesan itu. Saat aku keluar, ayah tengah berbicara pada Cameron. Aku mendekat.
"Aku cuma ingin apa niatanmu terhadap putriku?" ayah bertanya.
Aku bersembunyi di belakang semak-semak kecil supaya mereka tidak melihatku.
"Niatanku hanya yang terbaik," kata Cameron. "Percayalah, pak. Aku hanya ingin supaya putrimu bahagia. Dan aku ingin menjadi orang yang membuatnya bahagia. Dan kalau suatu hari, dia berpikir bahwa aku tidak layak lagi untuknya, aku akan pergi. Aku tidak akan menyalahkannya. Aku bisa jadi orang yang dia butuhkan saat ini, tapi kalau suatu hari nanti, dia bilang hubungan kami tidak berjalan dengan baik lagi, aku akan pergi. Hanya demi hal yang terbaik. Tapi hari itu hanya akan datang kalau aku mendengar kata-kata itu dari mulutnya."
Aku merasa aneh di dalam diriku. Mengapa dia berpikir bahwa aku akan memintanya pergi? Apa dia ingin pergi?
"Baiklah, itu cukup," ayah bilang dengan raut wajah datar, selagi sedikit mengerucutkan bibirnya. Cameron mengela napas lega.
"Tapi," tambah ayah. Cameron tampak diam-diam mengela napas lagi. "Kalau sampai aku melihat putriku menangis karenamu, aku akan mengambil AK-46 dan sekop. Dan biar kuberitahu, kami di sini tidak menggunakan halaman belakang. Jadi aku yakin tidak akan ada yang curiga kalau kau ada di sana. Terkubur dan mati," katanya, dan itu membuatku tertawa.
Cameron mengangguk dengan cangggung lalu berjalan masuk ke rumah. Aku kembali secara diam-diam melalui pintu belakang supaya dia tidak melihatku menguping pembicaraan mereka.
Kami masuk saat ibu selesai menyiapkan makan malam. Ibu tidak tersenyum dan dia cuma memberikan beberapa seringai palsu. Segalanya menjadi sangat buruk saat Cameron berjalan ke kamar mandi dan secara tidak sengaja memecahkan vas bunga. Vas milik ibu yang dia dapat di Yunani saat berlibur tahun lalu.
Dia memekik lalu mulai mengumpulkan pecahannya. Aku mencoba menghentikannya dengan tatapanku supaya dia menghentikan dramanya tapi dia terus menerus mengomel tentang betapa berharga koleksinya dan mengatakan bahwa dia tidak akan mendapatkan sesuatu yang sama sebagai ganti.
Wajah Cameron memerah karena malu. Dia terus mengatakan maaf tanpa henti dan bilang dia akan mengganti seharga sepuluh kali lipat bahkan sampai menjanjikan akan menelepon bibinya yang tinggal di Italia supaya pergi ke Yunani dan membeli vas yang baru untuknya.
Ibu cuma mengumpulkan pecahan itu, membuangnya, dan berkata pada Cameron bahwa ini tidak apa-apa. Dia tidak tersenyum sama sekali, cuma bilang dia merasa lelah dan beristirahat. Aku ingin menyembunyikan wajahku karena sikap memalukan ibu, karena bersikap layaknya anak-anak.
Yang Cameron ingin lakukan hanya pergi dan tidak pernah kembali lagi, tapi ayah memutuskan bahwa kami sebaiknya menonton film. Dan dia ingin Cameron memilih.
Cameron bilang dia tidak banyak tahu tentang film, tapi ayah memaksanya. Dia akhirnya memilih satu film yang pernah dia dengar dari seorang teman dan kami menontonnya via Netflix. American Pie.
Cameron belum pernah menontonnya. Dia tidak tahu film macam apa itu. Sepupunya memberitahunya untuk menontonnya, tapi dia belum sempat.
Saat awal film diputar, Cameron tampak gugup. Dia mengisyaratkanku supaya menghentikan filmnya, tapi ayah tidak mengizinkanku. Sudah aneh rasanya menonton film ini bersama Cameron, tapi jauh lebih aneh saat ayahku ada di sini. Aku bangkit lalu pergi ke kamar mandi. Cameron memberiku tatapan lalu aku diam-diam meminta maaf padanya.
Saat aku kembali dari kamar mandi, ayah sedang duduk di sofa dan membaca. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Cameron.
Aku bertanya dimana dia. Ayah cuma menjawab dia pulang ke rumah.
Vas sialan.
American Pie sialan beserta semua remaja dengan fantasi seksual yang gila di dalamnya.
Sialan pada keberuntunganku yang tidak pernah ada.
---
Terima kasih buat kalian yang masih setia menunggu kelanjutan cerita ini, walau aku baru hilang dan baru kembali. Semoga dapat diterima. *Cheers
KAMU SEDANG MEMBACA
Things I Could Never Tell You [Translation in Bahasa Indonesia]
Teen FictionVersi asli buku ini diterbitkan melalui wattpad dalam Bahasa Inggris oleh @invisiblilly , dengan judul yang sama "Things I Could Never Tell You" pada tahun 2015. Separuh bagian dari dunia ini bertahan selayaknya seharusnya, namun, bagian yang lain...