Satu : Melodi angin

650 57 56
                                    

Angin yang berlalu membawa seberkas memori yang nantinya akan kembali bersama badai.
-----------------------------------------------------------

Sekumpulan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai penjaja pangan masih kokoh berada di tengah-tengah kedai gubuk yang kini mulai penuh dengan dedauan kering yang berkumpul menyelimuti atap dan beberapa sisi jalan trotar sempit tempat para pejalan kaki membagi separuh jalan untuk mereka yang berteriak mengumbar suara nyaring hanya untuk menawarkan jajanan murahan menu utama kedai kecil mereka.

Kedua mataku yang sedari tadi melihat dari kejauah seorang wanita keriput dengan gaya style kuno yang menceriminkan bahwa umurnya juga tak kalah kunonya itu perlahan teralih, tepat pada kerumunan orang yang berdiri mengelilingi mobil hitam tak bertuan yang terpakir di tepi jalan. Entah untuk apa si murka yang menyebut dirinya sebagai manusia itu lakukan. Namun, melihat antusias ketertarikan mereka pada mobil tak bertuan itu menunjukkan bahwa, pemilik sebenarnya adalah mereka yang disebut sebagai idola peluluh hati kaum hawa.

"Manager, bukannya kau bilang sudah mengganti mobilnya dengan plat nomor baru? Kenapa fans masih bisa mengenalinya? Huh?!" Seorang pria jangkung bermata sipit berteriak, membuat kedua mataku lagi-lagi berpindah obyek. Seorang laki-laki berbadan gempal dengan lawan bicara seorang pria muda berperawakan tinggi dengan hidung yang tak terlalu mancung dan rambut abu-abu berponi miring yang baru saja berteriak dengan suara berat khas miliknya.

"Tenanglah sebentar. Aku sudah menghubungi kru yang lain. Kau bisa pulang dengannya nanti."

"Sejam yang lalu kau mengatakan hal yang sama. Kau mau aku menghabiskan waktu mahalku hanya dengan berdiri di bawah pohon seperti ini?" sahut pria jangkung itu kala si pria setengah baya berbadan gempal mencoba untuk meminta pengertian darinya untuk menuggu.

"Aku tau, maafkan aku, hm? Lain kali akan ku periksa agar tak terjadi kesalahan seperti ini."

"Cih, dasar tak berguna."

Pria itu berkacak pinggang diikuti dengan gerakan badan atletisnya yang sedikit berputar, terhenti ketika tepat kedua mata sipitnya menemukan obyek yang sedikit asing untuknya. Diriku. Gadis yang sedari tadi memperhatikan tingkah konyolnya yang bisa dibilang tak tau diri dan tak tau sopan santun.

"Mwo?! Kenapa menatapku seperti itu?!" pria jangkung itu menujuk ke arahku. Ke arah gadis bermantel coklat dengan sweater tebal bermodel turleneck. (*Apa?!*)

Awalnya hanya terdiam. Tentu, untuk apa mengubris makhluk murka yang menyebut dirinya sebagai titisan malaikat.

"Kemari kau! Kau reporter? Netizen? Atau jangan-jangan kau sasaeng?"

Pria jangkung itu lagi-lagi menujuk ke arahku, namun, kali ini dengan lambaian tangan yang terkesan sangat menyebalkan. Aku berjalan mendekat searah dengan lambain tangan pria berambut abu-abu itu. Tunggu? Aku berjalan menghampirinya?

"Kenapa menatapku seperti itu? Huh?!"

Aku hanya terdiam, enggan menjawab pertanyaan pria jangkung yang masih pada posisinya nyamannya itu. Berkacak pinggang.

"Baiklah, kau seorang fans?"

"Kenapa aku harus jadi fansmu?"

"Karena aku seorang komposer dan Rapper terkenal. Kau tak mengenalku?"

"Kenapa aku harus mengenalmu?"

ROMANSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang