Sembilan : Semburan Api

86 21 8
                                    

Dengan Jeon Jungkook, pria yang ditakdirkan untuk menghapus bayangan romasa. Dan, dengan Kim Taehyung, pria yang ditakdirkan untuk menghidupkan penghukum bayangan romansa.

-------

Tip ... tap ... tip ... tap ... tip ... tap

Alunan melodi ketika ayunan rotan bergerak seiring dengan embusan angin kian terdengar indah dipadukan dengan lantuman musik romawi kuno yang mengema jelas di ruangan. Seorang pria yang duduk bersandar rapi sambil mengoyang-goyangkan kakinya itu hanya terdiam menatap langit-langit ruangan. Pria yang datang satu putaran jarum jam penuh tanpa melakukan apapun. Pria yang datang tanpa menyentuh gagang pintu atapun menderapkan langkah kakinya. Dengan kesunyian Sang bayu, ia datang memasukki rumah Sang kutukan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hukuman bayangan romansa.

"Dewa memang suka bertindaknya seenaknya kan?" Suara berat seorang pria yang baru saja menembus dinding  kamar miliknya menyeru. Membuat satu lagi pria tampan yang terlihat sedikit lebih tinggi darinya menoleh.

"Aku datang sejam yang lalu. Tapi, tak ada siapapun yang menyambutku."

"Karena kau datang tanpa suara."

Pria itu mendesah pelan. Diikuti dengan gerakan tubuhnya yang perlahan bangkit dari kursi rotan. Menatap hangat sejenak Min Suga yang baru saja menarik salah satu kursi yang mengelilingi apik meja kaca besar tempatnya dan Park Ansa biasa untuk menyeduh segelas mocca hangat.

"Di mana Ansa? Dia tak ada di rumah?"

"Di kamarnya. Sedang istirahat."

"Kupikir dia tak bisa beristirahat sebelum menyelesaikan hukumannya."

"Dia bisa mendengarmu, matilah kau." Jung Ho Seok hanya tersenyum tipis. Setidaknya ia masih bisa mendengar lelucon yang sedikit tak lucu tentang gadis berambut ikal sepinggang itu.

"Ku rasa dia sudah menemukan pria itu."

"Kim Taehyung?" sahut Min Suga melipat keningnya samar.

"Hm."

"Kau tau tentang Kim Taehyung?"

"Akulah yang menjaganya selama ini."

"Kau pikir kau itu satpam? Manusia menyebutnya begitu." Suara seorang gadis tiba-tiba menyela. Gadis yang baru saja muncul setelah menyelesaikan aktivitasnya menghitung satu persatu anak tangga rumahnya. Tanpa menimbulkan suara derapan langkah kaki. Aku.

"Oh, Park Ansa? Kau sudah bangun?"

"Aku tak pernah benar tertidur. Hanya memejamkan mata."

"Itulah yang manusia sebut sebagai tidur, bodoh." Pria berhidung mancung itu memprotes.

"Lagian, para manusia perempuan menyebut pria yang lebih tua darinya dengan sebutan Oppa. Kudengar meskipun hanya berjarak satu tahun."

"Lalu?" jawabku dengan nada santai. Menarik perlahan kursi kayu tepat di sisi tempat duduk milik Min Suga.

"Aku ini lebih tua 104 tahun darimu. Kau pikir kenapa lagi? Huh?! Dasar tak sopan."

"Aku ini bukan manusia." Aku menoleh cepat. Diikuti dengan gerakan bibirku yang melengkung tajam. Tersenyum. Bukan untuk senyuman manis atau senyum tanda bahagia. Namun, untuk meremehkan dewa konyol itu.

"Wah, kau itu terlalu merendahkan diri, Park Ansa. Baiklah, terserah saja."

"Dewa lara tak ikut datang?"

"Masih merindukannya?"

Aku mengangguk ragu, "sebelum aku membunuhnya aku akan selalu merindukannya."

ROMANSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang