XVI : Air Rasa

70 14 4
                                    

Air mata yang jatuh bukan karena tanda rasa hati yang menjerit, tanda kekesalan yang mendalam ataupun rasa rindu pada anak manusia. Air mata yang jatuh, tepat membasahi pipi dan menciptakan sungai-sungai kecil penghias pipi tirus ini. Aku bahkan tak mengerti, mengapa seorang bayangan romansa yang terkutuk. Yang biasanya hanya bisa mengutuk dan mendapatkan kutukan, ia menanggis. Bukan karena rasa hati yang sebenarnya sudah membusuk. Akan tetapi, karena kerinduannya dengan ambang kematian menyakitkan yang dijanjikan sang langit untuknya. Ia mungkin selalu mengutuk atas amarah dan kekecewaan pada manusia. Akan tetapi, untuk kematian yang sudah ditujukan padanya. Ia tak pernah mengabaikan ataupun mengutuk sang langit untuk itu. Untuk itu, lakukan saja tugasmu sebagai takdir pembangkit kematian dewa.

"Aku mengatakan itu padanya." Min Suga memutar tubuhnya. Menatap aku yang hanya terdiam memainkan batang kayu manis yang kuambil dari mangkuk kaca milik Jung Ho Seok.

"Lalu?" jawabku malas.

"Itu tak akan berhasil jika kau hanya mendongengkan hal konyol semacam itu pada anak manusia yang penuh nafsu." Jung Ho Seok menimpali. Kini arah fokusnya yang dari tadi hanya terpaku pada beberapa racikan obat mulai teralih pada kami.

"Aku memang tak berhasil membujuknya dua hari lalu. Dan bodohnya, aku mengatakan hal yang lebih konyol lagi."

Kami --Aku dan Jung Ho Seok-- menoleh cepat ke arah pria berkulit pucat yang mendesah kasar diikuti dengan tubuhnya yang mulai beranjak dari posisi awalnya.

"Hal bodoh?"

"Mianhae, karena tak bisa membujuknya. Dan juga untuk hal bodoh yang kulakukan. Ahhh, ada apa dengan mulut ini." (*Maaf*)

"Hei, Min Suga, apa yang sebenarnya kau katakan, huh?" Aku sedikit berteriak. Mencoba untuk menghetikan langkah kaki pria yang hanya melambaikan tangannya malas tanpa menoleh ataupun terhenti sejenak. Pria yang sama yang menghilang tepat setelah suara pintu kayu yang tertutup. Meskipun ia tak mau menjawab pertanyaanku setidaknya, sisi baiknya adalah ia sekarang mau menggunakan pintu kayu dengan baik. Alias, tidak menebusnya seperti biasa.

--Flashback, 2 hari yang berlalu begitu saja. Dengan Min Suga yang selalu berusaha untuk membujuk anak dewa yang ditakdirkan untuk membangkitkan penghukum bayangan romansa. Kim Taehyung--

Min Suga menatap kepulan asap yang keluar dari secangkir mocca hangat milik Kim Taehyung. Seperempat jam sudah ia hanya terdiam memandangi gas tak berbau itu. Setidaknya, ia masih berusaha untuk mengatur atmosfer di ruangan yang dipenuhi pasangan kursi yang berjajar apik mengelilingi meja bulat di tengahnya.

"Katanya ingin berbicara denganku. Bicaralah, aku haru ke perpustakaan kota setelah ini." Kim Taehyung meneguk mocca hangat miliknya.

"Sebenarnya aku tak terlalu suka mocca. Akan tetapi, karena Park Ansa sering memberiku mocca hangat. Jadi, begitulah ...." lanjut Kim Taehyung kala Min Suga hanya terdiam menatapnya dan satu lagi cangkir putih yang hanya meninggalkan beberapa tetes cairan coklat di dalamnya.

"Kemarin Ansa menemuimu?"

Kim Taehyung mengangguk, "Kami berbicara cukup banyak."

"Lalu? Kau tak mau mengabulkan permintaannya?"

"Sudah ku bilang aku tak bisa membunuhnya."

"Bukan kau yang akan membunuhnya," sahut Min Suga lirih.

"Ara," (*aku tau*)

"Aku tak ingin kehilangannya untuk saat ini. Itu kenyataanya sekarang."

"Kau menyukainya?" Min Suga menimpali. Memasang wajah datar khas miliknya.

"Begitulah," jawab Taehyung lirih. Melirik sekilas pria yang masih menatapnya dengan tatapan yang sama dengan sebelumnya.

ROMANSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang