Enam : Siapa kau?

132 28 5
                                    

Tik

Tik

Tik

Tik

Min Suga yang sedari tadi sibuk memainkan ujung pisau tajamnya itu kini mulai menatapku sayu. Diliriknya sekilas jam analog tua di sisi ruangan. Satu jam sudah aku berdiri memunggungi pria berkulit pucat itu. Mengaduk coklat hangat yang kini mulai mendingin karena bertubrukan dengan hawa dingin yang tercipta dari suhu tubuhku.

"Park Ansa, kau tak lelah?" Aku hanya terdiam enggan berucap. Malas rasanya. Sekarang otakku yang biasanya hanya berisi sumpah serapah tentang Sang pengutuk langit itu kini mulai dicemari oleh pria yang baru saja menghilang bersama awan hitam yang berubah memutih. Membiarkan Sang surya setidaknya kembali kepada tugas awalnya.

"Baru saja menemui Park Jimin? Dia mengatakan sesuatu?"

"Dia datang ke sini?" tanyaku malas. Meletakkan sendok kecil di sisi cangkir yang sekarang terasa malas untuk meminum isinya.

"Dia datang."

"Bagaimana rumah abadiku dikotori oleh langkah kakinya?"

"Aku bahkan membiarkan sepatu suciku yang dibuat khusus di surga dengan bantuan para dewa bertelapak tangan suci harus ku kotori dengan lantai yang dibangun oleh kutukan dewa. Ku rasa aku haru membuangnya setelah ini. --Dia mengatakan hal itu sebelum menemuimu."

"Sombongnya, bagaimana dulunya aku bisa menyukai pria seperti itu." Aku berjalan lungai. Melirik sekilas pria yang hanya tercengir lebar untuk nada bicaraku.

"Dia lumayan tampan."

Aku mendesah kasar. Lelah, sangat lelah rasanya. Semakin banyak detik yang ku habiskan di dunia fana ini. Semakin aku tak mengerti apapun tentang rencana Sang pengutuk langit. Mereka sedang menyembunyikan hal kecil yang nantinya akan menjadi masalah besar terhadap takdir konyol milikku.

Bahkan hingga sekarang, bukan hanya tak mengerti siapa diriku dan untuk apa para roh yang menyebut diri mereka sebagai dewa itu mengirimku ke bumi atas ketidaktahuanku tentang dosa. Akan tetapi, juga tak mengerti mengapa hanya Min Sugalah yang masih diperbolehkan untuk tinggal dan membantu takdirku di dunia. Menghentikan waktu untuk memberiku jeda berpikir. Menghukum manusia atas kenistaannya dengan dongeng Romansa. Dan, membaca pikiran seseorang untuk mengetahui takdir duniawiku.

Ia memang tak bisa membakar rumah, menciptakan api, atau mengatur kobaran api yang melalap ribuan hotel di Seoul. Namun, ia disebut oleh dewa lain sebagai dewa api. Yang menurut dongeng adalah dewa yang ditakdirkan untuk menghindari nafsu membunuh milik bayangan Romansa. Untuk itu, takdir kami sudah tertata begitu rapi. Aku yang tak bisa membekukan jantungnya dan Min Suga yang tak bisa membaca masa depanku meskipun ia mencoba beribu kali banyaknya. Itulah takdir aneh milik kami berdua.

Ting tong~

Kami menoleh tepat ke arah pintu kayu yang masih tertutup rapat. Saling menatap satu sama lain. Pria berkulit pucat yang baru saja menyandarkan tubuhnya ke sofa itu dengan cepat beranjak. Menatapku sekilas.

"Apakah dewa sekarang sesopan itu?" tungkasnya kala aku hanya terdiam tak melakukan apapun.

"Mungkinkah dewa lara?"

"Dia hanya perlu menembus dindingnya. Tak usah repot-repot membunyikan bel."

"Lalu?"

Min Suga menggeleng cepat, "Haruskan aku yang membuka pintunya?"

Ting tong~

"Ansa-ya~, Park Ansa? Kau di dalam?"

Suara itu, aku pernah mendengarnya. Suara berat yang diiringi dengan nada serak dibagian akhir kata. --Kim Taehyung.-- itukah dia?

ROMANSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang