23. We Need to Talk.

36.3K 3.7K 11
                                    

Wilson berdiri perlahan, namun matanya tetap mengikuti sosok Cath. Meskipun baru sehari, ia sudah merasa rindu sekali pada Cath. Apakah pernyataan cinta kemarin hanyalah mimpi? Kenapa Cath bersikap seperti biasanya? Ia sendiri tidak berani untuk bertanya pada Cath mengenai kenapa ia tiba-tiba pergi malam itu, dan apakah ia benar menciumnya malam itu?

Cath sendiri sebisa mungkin berusaha menghindari untuk menatap Wilson. Meskipun ia merasa Wilson tidak berhenti menatapnya.

Cath berusaha mengabaikan sosok Wilson yang berdiri tidak bergerak di depan sofa sejak tadi, ia meraih sapu untuk menyapu beling-beling halus yang tersisa disana.

"Bukankah kita harus berbicara?"

***

Suara serak Wilson terdengar ditengah keheningan mereka.

Aktivitas Cath terhenti secara spontan. Inilah hal yang ditakutinya sejak ia memutuskan untuk kembali bekerja.

Ia memasang senyumnya lalu berbalik menghadap Wilson. "Kau beristirahat saja dulu." ujarnya. "Aku mengkhawatirkanmu karena kau adalah majikanku, kalau kau sakit, aku juga yang jadi repot, bukan?" Jawabnya seakan menjawab pertanyaan wilson malam itu mengenai perasaannya yang belum sempat ia jawab.

Wajah Wilson menegang. Ia tidak menyangka Cath akan berbicara seperti itu, dan seakan Cintanya sudah ditolak. Membuat hatinya remuk dan seakan bisa meruntuhkan langit ruangan diatasnya. "Membuatmu repot?" gumamnya datar.

Cath mengangguk. "Jadi kau beristirahatlah, dan pulihkan kondisimu. Aku akan membuatkan bubur untukmu sebelum makan obat."

Wilson harusnya tahu kalau cath memang terlalu polos, tapi ia yakin Cath tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti pernyataan cintanya hari itu. Kenapa Cath harus menghindarinya? Menghindari perasaannya?

Cath berbalik untuk melanjutkan lagi aktivitasnya. Alasan sepenuhnya adalah untuk menghindari tatapan Wilson yang membuat hatinya bertambah sakit setelah mengatakan itu semua.

Cath mendengar suara langkah kaki yang mendekat kearahnya namun kemudian menjauh diikuti oleh suara keras yang dihasilkan oleh pintu yang di banting Wilson. Wilson keluar rumah tanpa kata-kata meninggalkan Cath sendirian.

Cath bersimpuh pada lututnya lalu menangis sambil memegang dadanya. "Sakit.. Sakit sekali.." Gumamnya.

***

Tangan Wilson menekan tombol bel di depan pintu apartemen Sophie dengan tidak sabar. Ia tidak mempunyai tujuan lain lagi selain Apartemen Sophie, karena hanya sophie yang mengetahui keadaannya.

Ia sendiri bingung kenapa ia harus pergi meninggalkan Cath seperti itu. Pikirannya kosong dan perkataan Cath yang mengatakan dirinya merepotkan terus bergema. Bagaimanapun, ia merasa bersalah sudah bersikap kekanak-kanakan seperti itu.

Tangannya terus menekan Bel di depannya. "Apa mungkin Sophie tidak ada disini?" Gumamnya sambil terus menekan bel.

Pintu Apartemen itu akhirnya terbuka dan wajah sophie yang terlihat seperti baru bangun tidur terlihat dibaliknya dengan muka tidak senang karena tidurnya terganggu dengan bel mengganggu dari orang yang sedang tidak ingin ia temui saat ini.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Sophie kesal seraya menyuruh Wilson masuk kedalam. "Kau masih terlihat pucat, bukankah seharusnya kau beristirahat? Cath ada dirumahmu sekar--"

"Oleh karena itu aku kemari." potong Wilson cepat sambil meraih sofa panjang di sana dan berbaring. "kaki dan tanganku yang membawaku kemari." koreksinya.

Sophie menutup pintu pelan lalu mengernyit mendengar jawaban Wilson. "bukankah kemarin kau sibuk mencari Cath?" tanyanya.

"Ya, kau benar." Jawabnya. "Aku juga tidak mengerti kenapa aku pergi meninggalkannya tadi. Aku hanya merasa Cath tidak menginginkanku disana saat ini." Gumamnya. "ia juga berkata kalau aku merepotkannya kalau sakit." ia tersenyum pahit.

Sophie yang sudah mengetahui kejadian malam kemarin dari Cath, bisa menduga pemikiran Wilson setelah mendengar omongan Cath.

"Kau tidak mengabari Cath kemana kau pergi?"

Wilson menggeleng. "kurasa ia tidak mau mengetahuinya. Karena ia hanya menganggapku sebagai seorang majikan."

"Bukankah kenyataannya memang seperti itu?" Pancing Sophie sambil berjalan kedapur untuk mengambil minuman.

Wilson tidak menjawab sindiran Sophie. Ia tidak merasa perlu untuk menjawab pertanyaan Sophie.

Sophie kembali dari dapur membawa dua gelas minuman dan menghampiri Wilson. Wilson bangkit dari posisi tidurnya lalu mengambil gelas yang diletakan di depannya.

"Tumben sekali kau masih tidur jam segini?" Tanya Wilson seraya meneguk minumannya.

"Aku baru saja bisa tertidur 10 menit yang lalu." Gerutu Sophie meneguk kopinya. "Kau lupa kalau aku yang mengantar Cath ke tempatmu setiap pagi?"

"Ah.. Benar juga." Wilson membenarkan. "Lalu apa aku mengganggu tidurmu?" Tanyanya.

Sophie melirik kesal kearah Wilson. "Menurutmu?" tanyanya kesal.

Wilson menatap Sophie sebentar lalu kembali meneguk minumannya. "Kurasa tidak."

Sophie mendengus kesal. "Apa yang mau kau lakukan disini?"

"Aku juga tidak tahu." Jawab Wilson.

"Kembalilah kerumahmu dan beristirahat. Besok kau ada jadwal Shooting." Usir Sophie secara tidak langsung. "Aku mau menikmati hari liburku hari ini--"

"Cath menghindariku." Sela Wilson terdengar lirih meski untuk pendengarannya sendiri. "apa yang harus kulakukan?"

Sophie melihat prihatin kearah Wilson. Ia tidak ingin ikut campur terlalu dalam untuk urusan percintaan kedua insan bodoh namun tidak memiliki takdir untuk bersama ini. Mereka jelas-jelas sudah mengetahui perasaan masing-masing, tapi masih memilih untuk menghindar. Apa lagi kalau tidak disebut bodoh? Namun ia sendiri juga tahu kalau takdir yang tengah mempermainkan mereka berdua.

"....., Soph?"

Sophie mengerjap kaget begitu namanya dipanggil. "y-ya?"

Wilson menghela nafas panjang. "Sudahlah, lupakan. Kurasa memberi bunga untuk permintaan maaf sedikit berlebihan." Wilson mengibaskan tangannya lalu kembali membenamkan lengannya kekepala.

Sophie tersenyum. Ia seperti mengerti apa yang tadi Wilson katakan saat ia melamun. "Mawar." Gumam Sophie kemudian.

Wilson bangkit dari posisinya ketika mendengar suara Sophie.

"Kurasa bunga mawar cocok untuknya." lanjut Sophie tersenyum kepada Wilson.

Wilson ikut tersenyum. Seakan ia sudah menemukan jawaban yang ia cari sedari tadi. "Benarkah?" tanyanya.

Sophie mengangguk pelan.

"Kurasa juga demikian." ujar Wilson bersemangat. Ia lalu berdiri dan meregangkan tubuhnya lalu menghadap Sophie. "Terima kasih." ujarnya mengacak rambut Sophie. "Terima kasih kau sudah mau mendengarkanku, dan maaf telah mengganggu tidurmu." Lanjut Wilson. Ia lalu berjalan menjauhi Sophie yang tengah melihatnya sambil tersenyum, melihat punggungnya yang menjauh dan menghilang dibalik pintu.

"Setidaknya, Sebuah saran tidak ada salahnya bukan?" Sophie bergumam pada diri sendiri seraya tersenyum.

***

Tbc

My Maid is A PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang