kedua

415 49 22
                                        

Tersimpan impian dalam hati untuk memukau semua orang melalui pertunjukan drama berdurasi 30 menit. Berbagai peran (tidak termasuk tokoh utama) telah dibagikan. Bermula dari sutradara, mengarah pada bidang penataan panggung, busana, rias, suara, hingga berakhir pada hal yang dinanti seluruh anggota tim, yakni seksi konsumsi.

Senang bukan kepalang kala Gerda mendapatkan peran sebagai asisten sutradara dalam proyek ini. Tidak pernah ia membayangkan betapa berharga kedudukan itu. Memantau proses geladi bersama Askar, memberi nasihat kepada Askar (juga anak-anak lain), dan mengikuti rapat di samping Askar.

Terasa amat menyenangkan!

Meninggalkan sejenak pembagian peran, Gerda menghampiri Askar di pinggir bangsal. Ia menangani megaphone hasil pinjam Kepala Asrama Tuan dengan penuh kecermatan.

"Askar, apa kamu yakin memberiku peran itu?" tanyanya.

Askar mengepit megaphone, tersenyum, dan berucap, "Maksudmu, asisten sutradara?" Ia menepuk ringan pundak Gerda. "Tentu saja. Aku tidak pernah seyakin ini terhadap seseorang."

Senyum tak dapat tertahan, riang tak mampu diungkapkan. Ia hanya berdiri di sana, mengembus napas panjang sambil berharap bahwa ke depannya akan berjalan lancar. Namun, sedetik angan itu muncul, detik kemudian senyumnya memudar.

Pasukan berbaju besi datang. Dengan pedang platina di tangan, mereka menyerang anak-anak Arkais secara brutal. Semua berhamburan keluar bangsal, hanya tersisa Askar dan Gerda, serta para perusuh.

Mereka yang mengacau adalah kelas Klasik. Paling disegani, mumpuni, dan memikat hati. Dipimpin oleh Gahara, anak tunggal Kepala Arasy, menjadikan Klasik mendapat predikat sebagai kelas akademis tertinggi, berbanding terbalik dengan Arkais di peringkat terendah.

Wibawanya sebagai hulubalang menguar ke seluruh sudut Sekolah Arasy. Wajah dengan garis rahang tajam mengikat erat hati para wanita. Rambut panjang bergelombang terombang-ambing oleh angin kian mendramatisasi suasana hening di bangsal. Kulit cokelat yang manis dan eksotis mengundang iri khalayak di sekitar.

Namun, Gerda justru maju, mengacung telunjuk pada ujung hidung. "Selamat pagi, Tuan Gahara terhormat. Ada apa gerangan merusuh di bangsal ini?" tanyanya.

Gahara menghempas tangannya, sejurus membungkuk, lalu menegak, dan tertawa. "Untuk apa kamu bertanya, Nona Gerda? Kami juga mengikuti pementasan drama dan memilih bangsal ini sebagai markas utama," katanya. Dada membusung, dagu berkedik. "Jadi, aku dan segenap pasukanku memintamu keluar."

"Dengar, Tuan Gahara, aku dan teman-temanku sudah lebih dulu di sini!" Gerda membentak.

"Teman-teman?"

Gerda menoleh ke belakang, mendengus sebal karena kawanan Arkais telah pergi, termasuk Askar. Mata menyipit, ia pun berujar, "Penguasa jahanam!"

Ia berjalan penuh dengan kekesalan. Entakan kaki sengaja bersuara supaya mereka tahu bahwa Gerda tak sedang bercanda ketika marah. Tiba di mulut bangsal, ia berhenti, menjumput sejumlah kerikil. Dengan kode satu, dua, dan tiga, kerikil berhasil melayang ke udara secara bersamaan, mendarat keras di topi besi para lawan.

Mereka menengok, Gahara melepaskan topi. "Caramu sangat kuno untuk membalas kami, Nona Gerda!"

Gerda merangkup kedua tangan, mendongak ke langit, lalu berseru, "Oh Tuhan, berikan kepada mereka hujan deras! Sertakan sekelebat kilat yang mampu membuat baju mereka berkarat!"

"Caramu berharap juga sangat kuno, Nona Gerda!" Gahara bersilang tangan dan menyeringai.

"Aku tidak akan pernah berhenti berharap untuk membuatmu rendah, Tuan Gahara yang terhormat!"

Ia meninggalkan bangsal, mereka bersorak penuh kemenangan. Langit kemudian mengguruh, awan kelabu menggantikan ruang cerah di atas sana, seperti itu pula senyum Gerda menyepak jauh-jauh kekesalannya.

Tibalah ia di ruang utama Asrama Tuan. Anak Arkais berserak di lantai, beberapa bercengkerama, lainnya malah tidur. Askar di sudut ruang, memeriksa lembaran naskah yang telah tercetak.

"Mengapa kamu kabur? Kita seharusnya melawan mereka!" ocehnya, duduk di samping Askar.

"Aku tidak ingin membuat masalah, apalagi dengan Gahara," jawab Askar, masih berkonsentrasi pada rentetan tulisan.

Gerda meninju lengannya. "Kita tidak membuat masalah, justru kita meluruskan pembuat masalah yang sebenarnya." Ia pun merebut naskah sehingga Askar mendengus. "Lagi pula kita yang lebih dulu menempati bangsal itu!"

"Apa salahnya jika kita mengalah, Gerda? Ada banyak tempat di sini untuk sebuah markas, kita hanya perlu menemukannya." Askar berdiri, merampas kembali naskahnya.

"Di mana, Askar? Di mana?"

"Perpustakaan Arasy, gudang Arasy, ruang pribadi Kepala Arasy. Di mana saja, Gerda, di mana saja, sekalipun itu adalah rumah tikus peliharaan Kepala Arasy."

°°°

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang