kedelapanbelas

85 20 1
                                    

Geladi bersih terakhir untuk pementasan drama Sekolah Arasy. Demikian pula dengan Arkais yang menjadi kelas terakhir dalam latihan kali ini. Seperti kata Biah kala itu, Gerda pun meminjam kamera demi menciptakan memori tersendiri. Fokus lensa tertuju pada tiga anak duduk di tengah panggung, tetapi Gerda tak merasa puas karena yang tampak hanya punggung.

Ia maju selangkah, mencari sudut apik di depan sana. Namun, Anggara mencekal tangannya secara tiba-tiba. "Mau ke mana kamu?"

"Membuat sesuatu yang berguna," jawab Gerda sinis.

Tangan masih erat tergenggam, Anggara pun menggeram, "Hentikan rekamanmu. Itu membuat satu dari mereka takut." Telunjuknya mengarah pada objek utama.

Dia Semara. Dengan wajah tak dapat terdefinisikan, ia mengusap keringat yang bercucuran. Dialognya bersama Pusta tidak kedengaran, malah seperti serangkai igauan. Beberapa kali mencuri pandang ke bangku penonton di bawah, beberapa kali pula ia tersenyum kaku ke arah kamera Gerda.

"Ada apa dengan Semara?" Gerda menjauhkan kamera dari bibir.

"Demam panggung," jawab Anggara, "apa kamu tidak pernah mendengar dua kata itu, orang rimba?"

Tiada waktu untuk marah saat pertanyaan itu lepas dari mulut Anggara. Justru perhatian mereka langsung terjatuh pada Semara yang mendadak meninggalkan geladi, melintasi mereka dengan wajah sedih. Anak-anak Arkais, terutama Askar, dibuat kelimpungan olehnya.

Gerda lekas mengambil langkah panjang usai menitipkan kamera kepada Anggara. Ia tidak bisa percaya secara utuh, tetapi hanya pemuda itu yang berada di dekatnya ketika butuh. Demi mengejar Semara, ia juga rela menanggalkan dan meninggalkan sepatu tingginya di lorong sembarangan.

"Semara, tunggu!" Teriakan Gerda menggema.

Ia tidak menerima respons.

"Semara, tolong, berhentilah!"

Tiada tanggapan darinya.

"Semara, apa yang kamu rasakan?"

Baru setelah pertanyaan itu terlontar, Gerda dapat menyusul langkahnya kepada Semara. Gerda berdiri tepat di samping gadis berpakaian putih hitam, saat menatap sepasang mata, ia merasakan suasana kelam.

"Apa yang kamu rasakan, Semara?"

Ia menyapu air mata sebelum menjawab, "Aku kacau, Gerda."

Hal itu membuat Gerda menggiring Semara untuk duduk di kursi dekat mereka. Tangannya menawarkan beberapa lembar tisu dari kantong celana agar air menyedihkan itu dapat berhenti di situ. Dilihatnya lagi ekspresi Semara, tetap sama seperti kali pertama mereka hanya berdua di atap asrama.

Semara, di matanya kala itu, adalah perempuan yang cukup tangguh, sanggup menyimpan segala ketakutan tersebut tanpa seorang pun tahu. Namun, kini ia mengekspos kelemahan itu, mengizinkan semua orang sadar bahwa Semara tak serupa stereotip yang selama ini beredar di berbagai kalangan.

Hal itu tentu saja menyebabkan dirinya tenggelam dalam kekalutan. Semua orang akan menganggapnya sebagai perempuan aneh, tidak pantas memainkan peran besar seperti Ekstro.

"Aku ... antara siap dan tidak siap untuk menghadapi penghakiman itu."

"Tidak ada yang akan menghakimimu, Semara," tukas Gerda. "Aku bersamamu, di barisan paling depan untuk melindungimu."

"Bagaimana kamu melindungi jika badanmu tidak lebih tinggi dariku?"

Tiada waktu untuk marah saat pertanyaan itu terlepas dari mulut Semara. Yang bertanya adalah Semara, butuh kesabaran ekstra bila hendak menjawabnya.

"Aku memakai akalku." Satu telunjuknya menekan pelipis.

Hanya itu yang tebersit di benak. Ia percaya satu hal dalam hidup ini; semua orang berguna. Manusia bertubuh tinggi mungkin mendominasi berbagai lapangan pekerjaan di dunia ini. Dari politik hingga atletik, mereka bagai penguasa murni.

Namun, adakalanya manusia bertubuh kecil atau rata-rata menerima tempat apik di beberapa bidang. Tiga di antaranya adalah pelukis, tokoh revolusi, bahkan kaisar pendiri kerajaan. Itu sangat cukup untuk membuktikan bahwa akal manusia bertubuh mungil dapat berfungsi secara optimal.

"Bagaimana akalmu bekerja?" tanya Semara, merasa terhibur atas ucapan Gerda.

"Dengan menyebarkan bualan untuk mereka yang benar-benar membutuhkan."

Tentunya bukan Gerda yang berseru demikian. Mata mereka jatuh pada sosok jangkung di tengah lorong. Pakaian putih hitam dengan tali suspender tersandang, rambut mengombak panjang, dan segala ekspresi ketus yang terpajang membuat semua manusia tahu bahwa dialah Anggara, pemuda penuh marah.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Gerda merasa terganggu.

Senyum miring tersungging. "Pastinya bukan untukmu."

Anggara melintasi Gerda dengan langkah pongah, lalu berhenti di sisi Semara, berhiaskan senyum merekah. Sesuatu keluar dari kantong celana, segera ia meletakkan sebungkus permen karet min ke dalam telapak tangan Semara.

"Tidak terlalu mahal, tapi itu bekerja optimal dibanding akal Gerda yang tidak andal."

°°°

Update tiap hari ah. Kan bentar lagi abis.
Btw makasih buat kalian yang masih sudi baca cerita ini. I don't even know about you, guys, but I have to say that I lava you so much 😙

With love,
-Frisca

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang