Kelas Arkais menjadi penutup apik dalam pementasan malam ini. Mengangkat tema putih hitam dan pendewasaan jiwa, mereka menerima respons positif dari para tetua. Demi merayakan keberhasilan tersebut, 20 anak bebas pendidikan sekuler menggenggam air mineral masing-masing, saling bersulang bagai pejudi menang taruhan.
Gerda pun berada di antara mereka dengan wajah paling bahagia.
Saat menenggak airnya, Askar menepuk pundak dan berkata, "Gerda, Kepala Arasy memanggilmu ke atas panggung."
Tiba-tiba napasnya tersekat. Ada belati yang perlahan menyakiti ketika perkataan Gahara mengiang dalam benak. Bukan pasal taruhan yang menjadi bahan kecemasan, melainkan posisinya di Sekolah Arasy yang tak memungkinkan untuk bertahan.
Hidup dua tahun di sekolah dan asrama bersama anak beragam persona menjadikan Gerda mampu menggagah laksana garuda. Namun, kali ini ia harus menerima kenyataan bahwa berdiri di tengah panggung, ditemani empat anak lain di sisi dan tetamu di masing-masing kursi membuatnya tidak setangguh dahulu.
"Kami perkenalkan kepada tuan dan nyonya, inilah lima anak kami dengan talenta luar biasa!" kata Kepala Arasy, lalu merangkul pundak Gerda. "Di samping saya adalah Gerda Nila. Satu dari sekian siswi berkacamata yang mengundang minat Pimpinan Teater Arasy."
Tepuk tangan penonton menyadarkan Gerda dari segala konsepsi negatifnya. Teater Arasy merupakan kediaman murni para ahli sandiwara. Siapapun yang berlakon di panggungnya bagai harta karun istimewa. Pekerja di balik layar pun sama nilainya. Mereka menuliskan naskah, mengatur jalan cerita, dan menyusun koreografi secara sempurna.
Pernah sekali Gerda ke sana untuk tur sekolah, menyaksikan satu pementasan yang luar biasanya tak sanggup diungkap oleh kata. Mimpi Gerda kala itu sederhana; menjadi bagian dari mereka. Sekarang, alangkah bahagia bila ia mengatakan bahwa mimpi tersebut dapat diwujudkan.
Ia adalah satu-satunya wakil Sekolah Arasy yang menerima posisi penulis naskah untuk perayaan Hari Anak Sedunia.
"Ini pasti mimpi!" gumam Gerda dalam embusan napasnya.
"Jangan katakan itu, Gerda. Ini bukan mimpi, ini nyata," sergah Kepala Arasy.
"Tapi ... bagaimana bisa? Posisi itu terlalu tinggi untukku."
Kepala Arasy menepuk ringan puncak kepalanya, lantas memerintahkan seseorang keluar dari balik tirai merah. Dialah Pimpinan Teater Arasy, manusia yang paling jarang terekspos publik. Namun, sekali ia muncul ke permukaan, dunia di sekitar bisa kegemparan. Seperti kali ini, ia hanya mengenakan kemeja putih berhias dasi polkadot kupu-kupu dan celana hitam buntung.
Ia tak tampak berwibawa, apalagi saat menyapa para pemirsa, "Halo, kalian! Namaku sebenarnya adalah Blue Sky, tapi karena semua anakku keturunan rimba, mereka pun menyebutku Tuan Blaster.
"Dan ya ... bisa kalian lihat sekarang, aku berdiri di samping sang legenda, Gerda Nila. Aku sudah mengincar Gerda sejak lama, diam-diam menguntit media sosialnya, dan dapat kukatakan bahwa dia memang luar biasa!
"Empat anak lain juga hebat, tapi hanya Gerda yang paling memikat. Maaf atas ucapanku, Bahtera, Ayunda, Mason, dan Nirmala. Gerda tidak mudah tergantikan!" Kalimat menggebu tersebut diakhiri dengan kepalan tangan yang menggebuk dada kirinya.
Pujian yang kurang spesifik itu membuat Gerda bergidik. Ia masih tidak tahu bagian mana yang menyebabkan Tuan Blaster sangat memujanya, entah dari sisi tulisan, penampilan, atau mungkin kelakuan. Tiga aspek itu penting bagi Gerda. Apabila Tuan Blaster menjagokan salah satunya, Gerda akan berusaha meningkatkan dua aspek lain yang tertinggal supaya semuanya dapat disetarakan.
"Bagaimana perasaanmu, Gerda? Apa kamu senang mendapatkan kabar gembira ini?" tanya Tuan Blaster antusias.
Konsentrasinya berganti kemudian. Secara tidak sengaja, Gerda menangkap dua figur familier di bangku paling belakang. Satu dari mereka melambaikan tangan, lalu lainnya menyeka sesuatu yang mengalir dari kelopak mata.
Gerda pun mengambil pengeras suara yang diserahkan kepadanya. Mengembus napas panjang, ia lantas berkata, "Jujur saja, aku bahagia atas segala komplimen dari Tuan Blaster. Akan tetapi, kembali pada hidupku, bahagia yang sebenarnya adalah saat Ayah dan Ibu sudi untuk singgah di sini meski mendapat tempat terbelakang."
Dengan berani ia berkibas tangan membuat penonton di kursi beralih pandangan menuju tempat Ayah dan Ibu bersandar. Sambil menggenggam mikrofon, Gerda menuruni panggung, berjalan lebih cepat demi meraih orang tua yang sempat dianggapnya sebagai manusia paling tak acuh sedunia.
"Seperti kata temanku, istilah mantan suami, mantan istri, dan mantan kekasih memang ada, tapi satu hal yang perlu digarisbawahi; tidak ada istilah mantan anak."
°°°

KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Aku Dewasa
Cerita Pendek[ COMPLETED ] Ada gadis di lorong gelap sekolah. Mata memindai ke kiri dan kanan, mengintip seorang lain yang tengah memburunya. Kaki melangkah cepat, tangan berdekapan erat, rambut beterbangan. Ludah terteguk ke tenggorokan, mengambil persimpangan...