keenambelas

91 17 1
                                        

Drama sekolah telah membuang waktunya. Drama kehidupan pun tak jauh berbeda. Banyak kisah yang harus tertuang dalam blog kesayangan. Akan tetapi, Gerda memilih untuk menyimpan lebih dulu dalam pikiran. Kehidupan nyata sangat berharga untuk dilewati, apalagi ketika mesti menangani kardus kostum hitam putih.

Memindah kubus cokelat ke ruang ganti di salah satu kelas dalam bangunan sekolah sesungguhnya perkara kecil. Namun, gagasan irasional bergegas mengikat saat Anggara melintas dengan kedua tangan yang bebas.

Ia mengangkat kardus itu, lantas berseru, "Anggara!"

Anggara berhenti. Sejurus menengok dan mengembus kesal.

Kesan Gerda dalam melangkah kepada Anggara seolah sudah melupakan kejadian beberapa hari ke belakang, seakan semua berangsur membaik dan ia dapat membalik lembaran hidup selanjutnya. Sayang seribu sayang, konklusi tersebut di luar ekspektasi.

Mereka kini saling menghadap. Satu perempuan meringis, satu laki-laki memandang sinis. Lagak bagai panglima, Gerda pun meminta Anggara untuk membuka lebar kedua tangannya. Sempat ia tidak sudi, tetapi Gerda menyergah, berkata bahwa ini perintah langsung dari sutradara.

Tidak ada yang mampu menolak komando sang komandan, sekalipun itu termasuk kekonyolan. Gerda sudah paham betul dan ia memanfaatkan dengan sangat benar. Ketika Anggara melaksanakan, Gerda lekas meletakkan kardus di atas tangan.

"Aku adalah masa dewasa yang memaksa, Anggara. Aku di sini untuk memaksamu melakukan sesuatu tanpa peduli bahwa kamu setuju atau tidak. Jadi, bawa itu ke ruang ganti kita sekarang juga!"

Senyumnya semringah saat ini, melewati Anggara yang masih belum mengerti. Gerda tidak menampik bahwa nasihat Gahara kala itu bisa berfungsi. Akan tetapi, ia pun tak bisa secara gamblang mengakui, takut-takut bila Gahara semakin tinggi hati.

Sebaris pujian kadang mampu memicu telinga pemuda bermuka eksklusif menjadi sensitif.

Sepintas menoleh ke belakang, Anggara masih membeku di tengah atap Asrama Puan. Bahunya berkedik tak peduli, anak tangga pun berhasil ia turuni, dan mendadak berjumpa Askar yang tampak linglung di salah satu kursi.

"Askar, mengapa kamu di sini?" tanya Gerda, menghampiri dan duduk bersisian.

"Kepala Arasy meminta naskah yang sudah direvisi," jawabnya, mengukur tengkuk karena gugup, "tapi aku lupa menaruhnya di mana."

"Meminta naskah pada lima hari sebelum pentas?"

Askar menghela napas berat. "Kepala Arasy bilang sudah dari kemarin ingin bertemu denganku untuk membahas ini, tapi dia selalu lupa."

Gerda mengangguk maklum. Pria berkedudukan tinggi adakalanya suka lupa ingin melakukan apa, terutama pada hal yang sekiranya terbilang tidak cukup berharga.

"Tenang saja. Aku masih menyimpan dokumen itu di USB-ku." Ia memberi tepukan ringan pada pundak Askar. "Kamu bisa mencetaknya besok."

Bersamaan dengan kata penenangnya, Anggara melangkah di hadapan mereka, membawa kardus disertai sorot mata yang sarat akan marah. Saat Anggara telah jauh dari pandangan, Gerda dan Askar bangkit.

Tujuan berikutnya adalah auditorium di dalam sekolah.

Perjalanan mereka terasa sangat lama. Mengiang peristiwa semalam, keduanya laksana kawan yang tak berjumpa sekian masa, lalu dipertemukan dalam suatu suasana, dan jadilah mereka bingung harus berucap apa. Ingin sekali mereka memecah kebekuan, tetapi tak paham cara mengungkapkan.

"Maaf untuk masalah kemarin, Askar," bisik Gerda.

"Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun kemarin." Askar mengangkat sebelah alis.

"Malam kemarin. Tentang Gahara dan dugaanmu."

Bulatan dari bibir Askar seperti ia sedang terperangah, tetapi sepasang mata tak mampu berdusta. Gerda mampu membacanya meski hanya sepintas lihat.

"Itu semua tidak benar, Askar. Aku dan Gahara membuat perjanjian dan ... ya, resikonya adalah--"

"Askar, Gerda, gawat!"

Semara mendadak muncul di hadapan mereka. Napas terengah-engah, peluh mengucur di mana-mana. Kosa katanya dalam bicara pun terdengar kacau sehingga Gerda harus memasang telinga ekstra. Kendati demikian, tetap saja ia harus menelan kecewa karena yang sanggup didengar hanyalah kata ruang kostum dan Anggara.

Cukup dengan kata itu, kekecewaannya harus berlipat ganda. Ada bencana di ruang kostum yang dipastikan bahwa penyebab utamanya adalah Anggara. Bergegaslah Gerda lari, meninggalkan Askar yang bingung untuk kesekian kali. Koridor demi koridor telah tersusuri dan berakhir pada pintu kelas yang sengaja didaulat sebagai ruang ganti.

Pintu didobrak paksa. Bola mata Gerda sesak oleh lantai yang ditaburi kostum hitam putih secara sembarangan, lalu terdapat Anggara di tengah ruangan. Ia duduk bersila, mata juga terpejam seperti petapa. Namun, kala merasakan hadirnya seseorang, Anggara menyeringai.

"Revolusi terjadi karena pemberontak merasa bosan terhadap tingkah para pemaksa. Di sinilah aku, memberontak pada masa dewasaku yang memaksa, memberi sedikit revolusi kepadanya."

°°°

A/N: Hai! Kita berada di bab terakhir! OH MOI GOD! Tinggal 4 part dan epilog, cerita ini akan selesai! Astaga, astaga, astaga!

-Frisca

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang