ketiga

283 44 20
                                        

Gagasan cemerlang telah rapi tertata, menjadikan lahan semen di atap Asrama Puan sebagi ruang pertemuan. Ruang yang tertutup langsung oleh langit, berhias kegagahan bangunan Sekolah Arasy, dan rintik hujan sebagai kesejukan. Lima batang kayu dinaungi kain telah berdiri di tepi, tempat berteduh bagi mereka yang membenci hujan.

Gerda menyukai gagasan ini, duduk tenang di balik kisi-kisi, mengagumi betapa megah eksterior Sekolah Arasy. Tangan menopang dagu, mata menyorot teduh. Rasa ingin memeluk gedung di depannya sangat besar, tetapi lekas musnah ketika seorang gadis menepuk pundak.

Menoleh sekilas, ia bergumam, "Semara."

Semara mengambil posisi di sebelah Gerda, menopang dagu dengan tangan bersama segaris senyum. "Aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Sebuah rahasia."

"Apa?" Gerda melepaskan tangan, mendekatkan badan ke samping kanan.

"Aku merasa tertekan di sini." Ia mengulas senyum tipis. "Aku merasa tidak bisa melakukan apa pun, terutama memainkan peran itu."

Sebagian murid tentu was-was bila menyadari bahwa Semara, siswi paling ceria di kelas Arkais, mengungkapkan kebenaran tentang perasaan. Gerda pun demikian. Sangsi terhadapnya, apalagi tentang usaha kerasnya menjadi setenang samudera, seindah kota senja, bahkan seterang matahari kala pagi mulai menyapa. Juga, ia ingin menjadi pelita dalam gulita.

Namun, bagi Semara, harapan sesederhana itu masih tak sanggup ia gapai. Ia merasa kalah terhadap proses "melawan dengan tawa dan senyuman" saat melihat sosok tenang seorang Pusta. Berlatih dialog bersama siswi mungil itu terasa menyenangkan, tetapi pada waktu yang bersamaan menimbulkan kehancuran.

"Jangan berpikir seperti itu, Semara. Masing-masing diri memiliki plus dan minus. Bisa jadi Pusta berusaha menunjukkan plusnya sebaik mungkin. Yang harus kamu lakukan lebih dulu adalah memikirkan dan menampilkan nilai plusmu, jangan minus."

"Kata jangan membuatku lupa untuk patuh, Gerda."

Bisa dikategorikan sebagai berita gawat kepada Gerda.

Bibir terbuka, lalu terkatup. Tiada kata yang mampu terucap. Gerda bangkit, mengembus napas panjang, melihat sejenak bangunan di depan bermandikan pendaran senja. Semara mengikuti, menghadap langsung kepada gadis bertubuh lebih rendah darinya.

"Maaf jika rahasiaku membuatmu terganggu, Gerda," sesalnya. "Aku tidak berniat mengusik ruang pribadi siapapun. Aku hanya ingin suatu saat nanti, mereka bersedia mengintip barang semenit persoalanku yang rumit ... dan bisa saja itu dimulai dari kamu."

"Apa ini pesan sebelum bunuh diri?"

Secepat perkataan Gerda lepas, secepat itu pula kecewanya mengikat diri. Wajah Semara melemah, tiada sinar secerah mentari di sana, selayaknya senja termakan masa.

Naluri Gerda ingin jujur, mengatakan bahwa Semara tak sendiri. Ia punya Gerda dan anak-anak Arkais, paling utama pula ia masih memiliki dirinya yang harus diperjuangkan. Tak perlu muluk untuk tahu apa yang harus mendapat upaya besar darinya. Cukup diam dan merenung sejenak, Gerda selalu melaksanakan ritual itu kala hendak menulis sebuah artikel mengesankan di halaman blog.

Namun, Semara merupakan tipikal hiperaktif bersama pemikirannya sehingga tak sanggup meluangkan semenit waktu untuk merenung. Itu menjadikan Semara di mata Gerda sebagai spesies yang sederajat dengannya.

"Aku pernah seperti itu, Semara. Percayalah, bahkan sampai sekarang." Usaha apik untuk mengembalikan senyum menarik seorang Semara.

"Benarkah?" Ia terkesima. "Apa kamu pernah tertawa pada pemikiranmu sendiri?"

"Aku lebih dari itu."

"Apa kamu pernah membayangkan bahwa Askar yang sangat berwibawa tiba-tiba mengompol di celana?"

Mata terbelalak, sementara hati bergejolak. Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa dunia khayal Semara akan seliar hewan sabana.

"Di satu malam, aku pernah ber-angan bahwa Gahara, pemuda tampan dari Klasik, menjadi gaharu. Tubuhnya terpotong selayaknya kayu, lalu dikirim ke pabrik wewangian. Namun, setelah melewati proses pemeriksaan, dia malah berakhir di pembuangan karena kualitasnya yang payah." Sembur tawa menyebabkan mata Semara mengalirkan air sukacita. "Dia memang pantas menjadi gaharu buaya."

Rasa senang bergelayangan dalam benak Gerda. Setidaknya penghinaan terhadap Gahara membuat Semara melupakan gundah.

Mereka menyusuri anak tangga, akhirnya masa yang sukar berhasil dikendalikan. Langkah mereka terpisah ketika berjumpa persimpangan. Gerda mengambil kiri dan Semara memilih jalan lurus. Namun, selang lima langkah, Semara berbalik, bersorak memanggil Gerda.

Cepat ia menoleh. "Ada apa?"

"Aku pernah membaca artikelmu. Dalam satu halaman itu, aku tahu satu hal."

Gerda masih menanti Semara menyambung kalimatnya.

"Berekspresi atas angan-angan kita sendiri tidaklah buruk. Kita bisa menangis atau tertawa membayangkan diri kita meninggal dunia. Kita bisa tersenyum atau marah seumpama orang yang kita kasihi berpaling. Itu semua legal, tergantung kita memaknainya.

"Entah kita menganggapnya wajar sebagai penghibur atau justru penyakit karena berlebihan."

°°°

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang