Makan malam pribadi bersama hulubalang besar hati bukan tawaran yang menjanjinkan. Memang benar bahwa kebanyakan wanita pasti menjawab iya bila mendapat permintaan spesial dari Gahara, tetapi berbeda bila itu ditanyakan langsung kepada Gerda. Ia tidak setuju, tidak mau, dan tidak akan pernah menginginkan itu meskipun dugaan Gahara adalah satu hal yang faktual.
Kendati demikian, seharian sudah ia berkelahi dengan naluri dan hati, berdebat atas nama ketakutan mengenai informasi. Hening malam yang menjadi teman kian menambah kecemasan. Ia memeluk lutut di tengah atap Asrama Puan, pikiran pun tenggelam dalam lingkaran kegelapan.
"Gerda."
Seseorang itu semakin dekat, seperti kerisauan yang meningkat.
"Gerda."
Dia datang, bersila di depan Gerda.
Kepala sang anak dara tak kunjung menengadah, justru tubuh mendadak bergetar. Ia melihat dalam lingkaran kelam itu, wajah Gahara menyeringai bagai kancil yang sukses membodohi buaya.
"Gerda, aku di sini."
Suara di dekatnya melenyapkan Gahara dari bayangan. Perlahan Gerda mendongak dan tersenyum pasrah melihat seseorang di hadapannya.
"Oh, hai, Askar," katanya, peluh pun diusap.
"Apa kamu baik-baik saja?" Terlukis khawatir dalam air muka Askar.
"Iya, aku sangat baik. Itu tadi ... ah, aku ketiduran." Gerda tentu saja sedang berdusta. "Jadi, ada keperluan apa kamu ke sini? Bukankah latihan sudah selesai?" tanyanya, beralih pada topik sesungguhnya.
Selagi Askar menggali kembali inti pembicaraan yang sempat tersingkirkan, Gerda berusaha membuang segala hal tentang Gahara jauh-jauh, bahkan sampai ke Pluto bila mampu. Memikirkan dirinya terlampau lama berpotensi menimbulkan perkara besar bagi kesehatan jiwa Gerda.
"Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu," kata Askar.
Alisnya pun bertaut. "Apa?"
"Aku menyukaimu."
Napasnya tersendat di sana. Objek di sekeliling tiba-tiba berpendaran. Pada awal mereka berukuran normal, tetapi putaran yang mencepat seakan menghampiri pelan-pelan, lebih dekat, dan langsung menghantam tepat di sisi kesadaran.
Tak pernah ia kira bahwa Askar menyatakan rasa suka tepat di malam Gerda meresah. Perkataan jujur sang pemuda memperberat beban yang dipikulnya. Pasal Gahara belum usai, bahkan baru saja bermula, lalu Askar datang bersama keterbukaannya. Oh, astaga. Ingin sekali dirinya terpendam di rawa-rawa, lalu dimakan buaya.
Dia memang menyukai Askar. Beberapa tulisan di situs daringnya terinspirasi dari watak Askar; kewibawaan dalam bertindak, kecakapan dalam berkata, kemahiran dalam memegang kendali. Itu semua membuatnya terpacu untuk menjadi pribadi yang kompeten.
Namun, rasa itu sekadar suka. Tak dapat dikategorikan sebagai suka yang teramat buta.
"Melihat ekspresimu, perkataanku ini pasti mengganggumu."
Askar hendak bangkit, tetapi Gerda mencekalnya. "Aku belum berbicara apa pun. Mengapa kamu ingin pergi?"
"Karena kamu ... tidak suka aku," jawabnya ragu-ragu.
Kepala Gerda tertopang oleh dua tangan, menatap Askar lebih dalam tepat di manik mata. "Siapa orang bodoh yang tidak menyukaimu?" tanyanya, seulas senyum pun mengembang.
"Aku." Suara yang sangat akrab di telinga mengusik momen mereka. Pandangan otomatis terfokus pada satu figur di ambang pintu. "Akulah orang bodoh yang tidak menyukai Askar, Gerda."
Embusan napas berat baru saja keluar dari mulut Gerda. Ia berdiri kemudian, Askar pun melakukan hal yang sama. Dengan tangan bersilang di dada, Gahara melangkah pongah, menghadap perempuan itu bersama sorot penuh makna. Dalam benak, Gerda harap ia tak akan mengangkat hal yang menjadi kesepakatan di tanah belakang bangunan sekolah.
"Aku tidak menyukaimu, Askar," kata Gahara di hadapan Gerda, lalu gelaknya memecah dan menambahkan, "tentu saja demikian. Aku adalah pria sejati yang tidak akan menyukai sesama jenis, apalagi berparas aneh sepertimu. Mata bulat, hidung tomat, dagu runcing, badan ramping, kaki seperti emping. Semua yang berada di tubuhmu sangat aneh di mataku."
Segera setelah untaian nista lepas dari mulutnya, Gerda memberi sebuah tamparan manis di pipi Gahara. "Bahasa yang bagus, Tuan. Kamu mengaku sebagai pria sejati, tapi dengan aksen wadam* yang bekerja di perempatan jalan saat malam. Tidak ada orang di dunia ini yang sebaik dirimu, payah."
"Terserah majasmu, Gerda," Gahara menepuk ringan pundaknya, "tapi yang pasti, kita akan menikmati malam pribadi kita beberapa hari lagi."
Tak hanya menghancurkan malam, Gahara juga membuat hati Gerda bertambah suram. Dengan wajah tanpa kesalahan, ia melenggang anggun bagai putri kerajaan, meninggalkan mereka larut dalam kesedihan. Akan tetapi, yang paling terutama di sini adalah Askar bersama pecahan hatinya.
"Akhirnya kamu menyukai pemuda yang derajatnya lebih tinggi dariku, Gerda. Selamat bahagia."
°°°
Weirdest part ever.
A/N: Gila, bab ke-3 ini bener-bener absurd. Ide awal sebenernya bukan kayak gini, apalagi part ini, tapi kenapa aku malah bikin yang melenceng dari ekspektasi, OH EM IJ. Tapi gak papa lah ya.
Anyway, bab ke-3 udah selesai.
Mari melipir ke bab terakhir!
UYEEE-Frisca
wadam* adalah banci

KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Aku Dewasa
Short Story[ COMPLETED ] Ada gadis di lorong gelap sekolah. Mata memindai ke kiri dan kanan, mengintip seorang lain yang tengah memburunya. Kaki melangkah cepat, tangan berdekapan erat, rambut beterbangan. Ludah terteguk ke tenggorokan, mengambil persimpangan...