Satu hal yang perlu dijadikan pedoman adalah dilarang menggurat harapan bahwa omongan para penguasa merupakan kebenaran. Itu hanya bualan, tak akan pernah menjadi kenyataan. Namun, kali ini saja Gerda berharap sedikit lebih banyak kepada Gahara daripada teman-teman sepergaulannya.
Hanya Gahara yang menghampiri ketika bingung harus berbuat apa pada jalan hidupnya. Hanya Gahara yang memberi bantuan ketika satu kelas mengabaikannya.
Lahan luas di belakang Sekolah Arasy menjadi tempat mereka berjumpa. Kaki pun melangkah bimbang, menemukan Gahara di tepi tanah lapang. Demi nasihat dan sebuah kabar rahasia yang menurutnya berguna, Gerda berhasil menghadap Gahara tanpa ingin marah-marah.
Sebelah telapak terbuka, menagih wejangan sesuai perjanjian.
"Apa kamu tidak mau berbasa-basi dulu denganku?" keluh Gahara.
Kepala bergeleng malas. "Tidak. Aku sangat menghormati seseorang yang langsung bicara pada poin pentingnya."
"Tapi aku suka meracau."
"Itu urusanmu." Kedua tangan bersilang di dada, dengan angkuh ia berpaling muka.
Setelah berdesah, tubuh Gahara mendarat di atas rerumputan. Berharap Gerda mengikuti perbuatannya, Gahara malah menemukan perempuan itu duduk jauh dari jangkauannya.
"Cepatlah. Aku hidup bukan hanya untukmu." Beberapa kerikil dilemparnya hingga mengenai kepala Gahara.
"Baiklah, Nona Gerda." Ia mengambil napas sejenak. "Jika kamu dianggap sebagai masa dewasa yang memaksa, maka lakukan saja. Izinkan mereka merasakan enaknya menjalani paksaan, sama seperti para pribumi saat negeri ini masih menjadi negeri jajahan."
Kini yang mendenging dalam kepala bukan hanya kalimat milik Anggara, melainkan Gahara. Terdengar kurang berlogika pada awalnya, tetapi karena akal Gerda kadang kala jauh dari kata sehat, ia dengan mudah masuk ke angan-angan.
Pikirannya terbawa kepada masa pemimpin otoriter sedang mempropagandakan berbagai kebijakan segampang mereka membalik telapak tangan.
Mereka memerintah (atau bisa dikatakan memaksa) hingga bertahun-tahun, bahkan bisa menjadi bagian terutama dalam peradaban dunia. Meski pada akhir cerita, mereka adalah orang paling hina, mereka tetap mendapat tempat istimewa di buku tebal bernama sejarah.
Pandangan beralih kepada Gahara. Tebersit tanya tentang betapa fasih Gahara mendapat keistimewaan dari warga sekolah. Gerda hanya mampu memperkirakan bahwa Gahara pernah terjebak di fase yang sama sepertinya.
Ketika fase itu semakin mengikat erat, ia bangkit dengan berani, menepuk dada kiri berkali-kali, dan berikrar kepada sang mentari, "Akulah Tuan dalam segala yang tampak. Aku bisa membangun pasukan tanpa seorang pun mampu melawan."
Berkat pembayangan tersebut, Gerda menyungging senyum. "Diktator yang bodoh. Apakah dia tidak tahu bahwa aku berusaha menentangnya sedari dulu?" gumamnya.
"Apa?"
Matanya mengerjap tiba-tiba kala Gahara bertanya demikian. "Tidak. Tidak ada." Sepintas ia berdeham, lalu bertanya, "Jadi bagaimana dengan rahasia yang kamu maksud?"
"Rahasia apa?"
Beberapa kerikil berhasil mendarat di kepala Gahara atas pertanyaan polosnya. "Kamu terlalu bodoh untuk berpura-pura menjadi orang bodoh, Gahara. Cepat katakan." Bola mata Gerda berputar geram.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Tidak masalah." Bahu Gerda berkedik. "Lagi pula rahasia itu tidak akan berpengaruh bagi keseluruhan hidupku. Mungkin yang kamu maksud rahasia adalah kekagumanmu terhadap tubuh wanita serupa botol soda." Di atas angin kedua telunjuknya menggambarkan dua kata terakhir.
"Itu sudah menjadi rahasia umum," timpal Gahara.
Ia pun berdiri, Gerda pun mengikuti. Langkahnya mendekat kepada Gerda bersama senyum miring yang terlalu rancu untuk diterka.
"Menurut informasi yang kucuri dari Ayah, kamu bisa bertahan di sini sampai hari kelulusanmu."
Rasanya sangat berat untuk berpikir sekarang. Kelinglungan tergambar jelas di wajah Gerda. Ia, jujur saja, senang mendengar berita tersebut. Akan tetapi, untuk memercayai Gahara seratus persen bukanlah perkara mudah. Tampang-tampang tampan di dunia selalu sanggup membuat nalar kaum hawa teralihkan dari kenyataan.
Akan tetapi, Gerda tak akan termakan bualan dari pemuda tampan di hadapan. "Muka sepertimu sering kali mendusta, Gahara," sahutnya.
"Apa aku terlihat seperti pendusta ulung?"
"Tentu saja."
"Jika kamu tidak percaya, tidak masalah," Gahara berpaling wajah, "tapi marilah kita bertaruh. Informasi itu belum sepenuhnya lengkap. Apabila Ayah menyuruhmu dan empat anak lain ke atas panggung usai pementasan, tentunya untuk satu hal spesial, kamu harus bersedia menerima konsekuensinya."
"Apa?"
Gahara mengambil ruang kosong di sisi kanan Gerda. Helaan napas menyentuh telinga dengan hangat, tangan pun merengkuh pundaknya erat. Serangkaian kata yang terucap membuat hatinya berdetak lebih cepat.
"Makan malam pribadi setelah pementasan."
°°°
![](https://img.wattpad.com/cover/104031645-288-k685456.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Aku Dewasa
Short Story[ COMPLETED ] Ada gadis di lorong gelap sekolah. Mata memindai ke kiri dan kanan, mengintip seorang lain yang tengah memburunya. Kaki melangkah cepat, tangan berdekapan erat, rambut beterbangan. Ludah terteguk ke tenggorokan, mengambil persimpangan...