Sepasang mata menyorot tanpa minat di atas beranda. Anak-anak perempuan sedang menyepak takraw, terdapat Dinar dengan langkah agresif merebut bola dari lawan, ada pula Batari yang menunggu di ujung untuk sebuah operan. Sepanjang hidupnya, Gerda menyukai permainan ini, baik diselingi kecurangan atau tidak, semua tampak bagus di matanya.
Namun, setelah keluarnya ungkapan dari Anggara, Gerda hanya mampu meratap, pilar di sisinya pun sangat erat ia dekap. Kepiluan tersebut tak kunjung menyingkir meski Semara sengaja meninggalkan pertandingan demi duduk di sampingnya. Tangan juga sudah terkibas tepat di muka Gerda. Namun, wajahnya tetap seperti itu, tanpa mau membicarakan apa pun.
Semara membelai rambut sebahunya sambil bertanya, "Sebenarnya apa yang terjadi, Gerda? Dari kemarin kamu murung, bahkan tidak mengambil jatah makan malammu. Apa ini tentang Anggara?"
Gerda hanya menggeleng.
"Jika benar tentang Anggara, katakan saja. Aku akan membantumu. Kalau bisa, aku akan memberi pukulan seperti yang pernah ia berikan pada Gahara!"
Lagi, Gerda hanya mampu menggeleng.
Ia berada di ujung depresinya. Tiada seorang yang sanggup mengembalikan tabiat irasionalnya. Ucapan yang berkaitan dengan tuan dalam jiwa dan raga tiba-tiba hangus, tergradasi oleh semua rasa sedihnya kala mengiang olokan Anggara.
Pemuda itu patut mendapat gelar "pematah hati" paling sempurna. Karena dari sekian banyak kisah, insiden, dan tragedi, hanya dialah orang yang berhasil menyebabkan Gerda jatuh ke jurang putus asanya dalam sekali pertemuan.
Ia mempererat pelukan pada pilar, lalu bertanya dengan suara parau, "Menurutmu, mengapa Anggara sangat murka kepada Gahara waktu itu?"
"Karena mereka bersaudara?" Semara ragu menjawab, lalu menambahkan, "Maksudku, Anggara dan Biah bersaudara. Anggara tidak ingin saudara sedarahnya disakiti."
Selepas pernyataan itu mengisi ruang hampa di kepala Gerda, seketika ia sadar ada satu hal yang terlewat. Ini pasal hubungan darah dari Anggara dan Biah. Tak pernah ia tahu bahwa mereka merupakan sepasang kakak adik. Mereka memiliki perbedaan yang sangat amat kentara, mulai dari struktur wajah sampai tindak tanduknya.
"Dari mana kamu tahu mereka bersaudara?" Kepala Gerda meneleng bingung.
Semara mencengis-cengis, tak tahu harus memulai dari bagian apa. Yang dapat ia umumkan hanyalah perilaku Anggara dalam beberapa hari terakhir terkesan sedang membuka diri untuk menceritakan kisah hidupnya kepada beberapa orang terpercaya, terutama Semara.
Itu dimulai dari rahasia yang paling sederhana, yakni hubungan persaudaraannya dengan Biah. Sedari dulu, pemuda itu enggan memperkenalkan Biah sebagai saudara karena keanehan tampilan visual serta keberadaan dua gigi gingsul yang sangat mengganjal. Kacamata tebal minus tujuh itu seolah menjadi teman hidup yang abadi, ke manapun dan di saat apa pun.
Akan tetapi, saat ia melihat Biah kian "menempel" kepada Gerda, rasa cemasnya mencuat. Bukan semata-mata ia cemburu bila bertingkah seperti itu. Ia sudah menjadi pengamat ulung lebih dari dua tahun di Sekolah Arasy, tak mungkin ia gagal meramalkan bahwa Gerda adalah satu dari sekian penyebab utama atas konflik hidup di dunia.
Dengan kacamata, wajah bulat, dan poni tebal menutup kening, ia bisa membuat kepala semua orang menjadi pening.
"Apa aku separah itu?" Gerda memandang ke bawah, tepat ke arah penampilan fisiknya sekarang.
"Jangan tersinggung, Gerda," sanggah Semara. "Adakalanya laki-laki suka berkomentar aneh untuk menyangkal bahwa sesungguhnya perempuan yang dia lihat sangat memesona."
Sudah beberapa kali hati Gerda teriris, termasuk hari ini, membuatnya tak tahan lagi untuk menangis. "Memesona? Apakah mengibaratkanku sebagai masa depan yang chaos adalah kata memesona secara harfiah?"
"Gerda ... aku tidak tahu maksudmu."
Setitik air berhasil turun dari kelopak, ia pun berdiri tegak, lantas berteriak, "Aku adalah masa depan yang chaos, Semara! Tidak ada yang menginginkanku, tapi aku memaksa masuk dan membuat semua orang melaksanakan perintahku!
"Askar akhirnya menyetujui rencanaku yang ingin membalas perbuatan Gahara, Biah akhirnya terkena konsekuensi karena salah terka, dan mungkin sekarang kamu, Semara. Kamu akan menjadi pusat kebencian karena sudah membuka rahasia Anggara di depanku.
"Semua sudah jelas, Semara. Aku adalah kekacauan dalam tugas drama ini. Tidak ada orang yang lebih mumpuni untuk mengacaukan hal baik selain aku."
Ia kemudian berlari, melompati pagar asrama seukuran pinggang. Kini ia menjadi satu di antara pedestrian yang berlalu-lalang, tetapi tak memiliki jalan untuk pulang.
Namun, tiba-tiba sebuah tangan menariknya, menghentikan semua langkah marah itu untuk menghadapi seorang Gahara di depannya.
"Aku baru saja melihat kekalutan sang Garuda. Apa aku bisa membantumu?"
°°°
Thanks to @insriem9
Akhir-akhir ini kuselalu lihat dirimu menjadi orang pertama yang nge-vote tiap ku-unggah part baru. Jadi kuasumsikan saja bahwa dikau memang membaca AAD. Kehadiranmu buatku deg-degan meski dirimu tidak komen. Kupengin kasih penghargaan, tapi dirimu tidak buat cerita. Jadi kusebut saja di part ini. He he.Kuharap dirimu suka :)
Salam,
-Frisca

KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Aku Dewasa
Historia Corta[ COMPLETED ] Ada gadis di lorong gelap sekolah. Mata memindai ke kiri dan kanan, mengintip seorang lain yang tengah memburunya. Kaki melangkah cepat, tangan berdekapan erat, rambut beterbangan. Ludah terteguk ke tenggorokan, mengambil persimpangan...