kesebelas

82 19 1
                                        

Drama berjudul "Badai di Pacifio" menjadi pembuka geladi kotor pentas Sekolah Arasy tahun ini. Berlakon sebagai panglima perang, Gahara tampil apik, lalu terdapat Gerda di belakang tirai merah, dengan segala upayanya untuk dapat melirik. Bibir tipisnya tersenyum remeh kala menyadari bahwa seluruh area panggung dipenuhi oleh baju-baju besi.

"Gerda."

Seorang Askar yang muncul tiba-tiba di samping Gerda nyaris membuatnya jatuh dari pijakan. "Ada apa, Askar?" tanyanya.

"Sebentar lagi giliran Arkais. Apa kamu tidak mau melihat anak-anak bersiap diri?"

Sejurus Gerda mengintip panggung untuk terakhir kali. Gahara masih berada di tengah bersama baju zirah dan pedang platina, melawan makhluk rekaan berupa naga di dalam samudra. Semua itu dilaksanakan demi menyelamatkan nyawa putri negeri tetangga.

Terlalu berlebihan bagi Gerda untuk mengenakan kostum-kostum tersebut, mengingat bahwa ini hanya geladi kotor, bukan pentas inti yang menghadirkan dewan guru, para orang tua, murid-murid, bahkan Kepala Arasy.

"Gerda, jangan melamun," kata Askar, menariknya menuju panggung bagian dalam.

Anak-anak Arkais berkumpul di satu sisi belakang panggung, membentuk suatu lingkaran kecil. Biah duduk di tengah, dengan pundak memanggul kamera, bertanya kepada mereka tentang kesan-kesan selama menjalani latihan drama. Akan tetapi, ketika Askar dan Gerda datang, ia pun bangkit, menyerbu mereka berdua.

"Katakan hai!"

"Untuk apa?" Alis Askar bertaut bingung.

Biah mengerling kesal. "Untuk dokumentasi, Askar!"

Sebelum sempat membalas lagi, Gerda sudah menyela, mengatakan di depan kamera bahwa Askar merupakan salah satu homo Sapiens dengan tingkat kekunoan paling tinggi di dunia ini. Ia tidak peka terhadap kemajuan zaman kala semua hal harus serba diabadikan. Bagai hidup di rimba, ia hanya menikmati alam selayang pandang.

Namun, Askar dengan bangga menggeser tubuh gadis tersebut dari kamera, kemudian berkata, "Jika aku di rimba, maka Gerda akan menjadi pendamping hidupku selamanya."

Ingin hati Gerda menampik pernyataan itu, tetapi segera enyah oleh sosok Gahara yang datang bersama muka garang. Dinar serta Batari pun sedang membuntut di belakang, tangan bersilang di dada, seringai angkuh terukir di bibir merah muda.

Gerda tahu apa yang membuat mereka bertiga berjalan ke arahnya, oleh karena itu ia hanya membusungkan dada, berbisik dalam benak bahwa perang akan bermula saat ini juga.

Sayangnya terkaan itu salah. Alih-alih menyerang Gerda, Gahara justru menarik kerah baju Biah yang sibuk merekam cakap-cakap dari sutradara. Kamera berisi video dokumenter itu berhasil Gerda tadah, tetapi tak cukup untuk menyelamatkan sang empunya.

Gahara menyeret Biah ke dalam satu-satunya ruang kostum di belakang panggung. Tiada satupun yang boleh masuk, kecuali Dinar dan Batari.

"Apa maksudmu hulubalang tangguh kalah melawan belalang cupu?"

Terdengar hantaman keras dari balik pintu lapuk di depan Gerda. Telah dipastikan bahwa Gahara memberikan buku-buku jarinya pada wajah Biah.

"Apa maksudmu, Gahara? Aku tidak tahu apa-apa." Jawaban lemah dari Biah membuat Gerda merasa bersalah.

Satu pukulan terdengar lagi.

Kali ini Gerda bergidik ngeri, berharap dalam hati bahwa Biah masih sanggup berdiri.

"Gerda, apa ini ulahmu?" Askar mendadak muncul di sampingnya bersama Anggara.

Ia terpaksa mengangguk, lalu menunduk. "Akulah pengunggah video Gahara yang ketakutan saat melihatku. Aku juga yang memberikan keterangan hulubalang tangguh kalah melawan belalang cupu," katanya penuh ketakutan. "Maafkan aku, Askar. Aku marah melihat komentar di blog--"

"Maaf tidak akan mengubah segala hal yang sudah salah dari awal."

Anggara menghadap pintu itu, menoleh sekilas kepada Askar dan Gerda. Satu tendangan kemudian dilancarkan, berhasil menyebabkan pintu tersebut tumbang. Tampak di sudut ruang dekat kaca, Gahara mengangkat badan lemah Biah, nyaris menghantam rahangnya.

Namun, Anggara berada tepat di tengah mereka, lekas menghempas kasar tangan Gahara. Matanya sarat akan kebencian, keinginan untuk menghabisi sosok yang lebih tinggi di depannya pun kelihatan sangat besar. Gerda pikir Anggara hanya sebatas pemuda yang berani dengan ucapan tanpa perbuatan.

"Jangan ganggu Biah," katanya dingin, lantas mendaratkan pukulan pertama pada pipi kanan sang hulubalang.

"Biah tidak selevel denganmu." Pukulan kedua di pipi kiri.

Pukulan ketiga di bagian perut menjadi yang terakhir. "Kamu tidak bisa dikatakan tangguh jika melawan orang cupu. Tunjukkan kekuatan payahmu ini kepada para petinju."

Gahara terkapar tak berdaya, Dinar dan Batari berusaha membangunkannya. Biah pun tak jauh dari mereka, mencoba berdiri dengan uluran tangan Anggara.

"Terima kasih," kata Biah, memasang kembali kacamata yang sempat tergeletak.

Anggara mengangguk. Namun, sorot matanya berganti tajam saat memandang Gerda. "Kita semua sudah sepakat untuk tidak membuat masalah dengan para penguasa."

°°°

A/N: Hai! Ini bab ke-3 dari si PROYEK. Terima kasih sudah membaca!

Btw, ku baru tahu kalau Dr. Ryan Thamrin meninggal 😯 Huft.

-Frisca

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang