kedelapan

95 24 11
                                    

Duduk bersama Askar di bawah bintang malam membuat hati Gerda semakin kelam. Ada semburat gundah dalam jiwanya kala mengenang ucapan Gahara. Pergi dari Sekolah Arasy dengan alasan yang belum pasti membuatnya tak mampu berkutik. Setelah semua perjuangan untuk mendapatkan tempat terbaik meskipun berakhir di bangku Arkais, Gerda tidak mungkin rela meninggalkan sekolah kesayangan.

"Kamu terlihat murung." Ucapan Askar membangunkannya dari ketakutan.

Senyum terkulum miris. "Tidak," elaknya.

"Tadi sore, Alferes datang kepadaku. Dia mengatakan bahwa skeneri kita sudah selesai dibuat. Hanya perlu beberapa ornamen dan urusan panggung akan beres."

Setidaknya informasi singkat dari Askar dapat membuat Gerda merasa lega karena secuil persoalan telah lepas dari pikiran.

"Lalu, apa lagi yang belum terselesaikan?"

Bahu Askar berkedik. "Entahlah," katanya, menyorot teduh mata Gerda, "mungkin ... kita."

Hening seketika menyelimuti mereka. Atmosfer atap Asrama Puan kali ini terasa lebih canggung atau mungkin hati Gerda yang demikian. Tak tahu apa yang dikatakan selanjutnya, Gerda takut bila ia menimpali, suasana akan bertambah buruk lagi.

"Mari kita akhiri ketidakjelasan kita menjadi lebih—"

"Askar! Gerda!"

Keduanya menengok, melihat Pusta berada di ambang pintu tua, sedang mengatur napas yang terengah-engah. Di saat mereka berdiri, ia pun menghampiri dengan wajah pucat pasi, memberi kabar bahwa Rana sedang dihakimi oleh Kepala Asrama Tuan karena tepergok mencuri.

Tanpa mendengar kronologi, Gerda dan Askar berlari meninggalkan Pusta yang masih berdiri. Mereka tak ingin melihat salah satu temannya menorehkan kisah tragis pada sejarah Arkais, apalagi ini menyangkut Kepala Asrama Tuan yang sangat bengis.

Tiba di beranda asrama, pemandangan Rana yang mendapat cela dari anak laki-laki langsung terpampang di depan mata. Namun, tak terlihat dari air muka bahwa ia merasa malu, justru memberikan sebaris senyum lugu kepada mereka yang berkerumun. Tak ayal Gerda menariknya keluar, mata menyipit tajam, sementara tangan sudah terkepal.

"Rana, apa kamu baik-baik saja?" tanya Askar kala mereka berhadapan.

"Tentu saja, bahkan lebih dari baik!" Rana menepuk keras punggung Askar. "Omelan Pak Kepala itu tidak lebih dari seonggok daging berkualitas rendah."

"Maksudmu?" Mata Gerda terbuka lebar, bak api yang berkobar.

"Santai saja, Gerda," balas Rana, "aku bukan sepertimu yang harus menjaga perilaku di depan guru. Lagi pun dia hanya Pak Kepala, tidak akan berpengaruh apa pun untuk nilai kesopananku atau kelas kita."

Pandangan Rana pun beralih kepada Askar yang menahan tawa akibat wajah cemas Gerda. Tangan kemudian merogoh kantong celana, mengeluarkan beberapa gulungan bretel dengan lajur warna berbeda.

"Aku berhasil mendapatkan kemauanku." Senyumnya mengembang lebar.

"Astaga, Rana. Bukankah kita akan mengambilnya bersama?" tanya Askar mengerut dahi.

"Ah, kamu terlalu sibuk, Askar. Pekerjaanmu ada di mana-mana. Kamu harus mengatur drama, mempelajari jalan ceritanya, dan mengurus kepingan hatimu yang berantakan."

Merasa pernyataannya terlampau batas, Rana langsung melintas sambil mengucapkan satu hingga dua kata yang tak terdengar jelas.

Sejenak Gerda dan Askar saling pandang, lalu berjalan menuju beranda Asrama Puan yang sudah tidak tampak satupun orang. Melihat itu, Askar mengembus napas panjang. Tepukan lembut pada pangkal lengan Gerda pun menjadi isyarat dari Askar untuk kembali ke habitat.

Mereka sama-sama berjalan, tetapi ke arah yang berlawanan. Gerda menaiki beranda, hendak memasuki pintu kayu di depannya. Namun, suara memanggil dari seseorang di belakang berhasil menunda langkahnya. Ia masih di sana tanpa berbalik badan, menunggu Askar mengucapkan hal yang belum tersampaikan.

Sayang seribu sayang bagi Gerda ketika menghitung tanpa suara dengan kode satu, dua, dan tiga, tetapi Askar masih membeku di tempatnya.

"Askar, apa kamu masih hidup?" Gerda terpaksa berbalik tubuh.

Laki-laki itu mendongak malu. "Iya, tentu saja," balasnya. "Aku harus pergi."

Dengan segera ia berlari, sementara Gerda tetap di sini sambil mengerutkan dahi. Masih diragukan olehnya bila Askar, sang bujangan berwibawa tinggi, mendadak hilang konsentrasi ketika menghadap Gerda seorang diri. Kelinglungan Gerda semaki menjadi-jadi saat Semara datang mendekat dan merengkuh bahunya erat.

"Apa kamu ingin tahu penyebab Askar tiba-tiba seperti itu?" tanya Semara, penuh harap bahwa Gerda penasaran.

"Kurasa tidak. Mungkin dia lupa apa yang harus dia katakan. Aku juga sering seperti itu."

Semara mengerling dongkol atas jawaban itu. "Salah, Gerda!" bantahnya. "Askar seperti itu karena dia menyukaimu!"

Ekspresi sebalnya pun berganti menjadi marah ketika Gerda terperangah dan bertanya, "Lalu ... apa hubungannya denganku?"

°°°

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang