kelima

147 31 18
                                        

Rinai di pagi menyejukkan badan, tak menyurutkan diri Gerda menuju atap Asrama Puan. Berbalut mantel bertudung, ia mengendap-endap ke ruang makan, lokasi tangga penghubung diletakkan. Tiba di sana, tak sanggup ia mengungkapkan kata kala melihat sosok Askar duduk dalam tenda. Wajahnya berhiaskan garis diagonal yang lebam akibat insiden semalam.

Mata bertemu mata, Askar pun bangkit. Senyumnya terkulum manis, lantas berucap, "Akhirnya kamu datang, Gerda. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan."

Langkah Gerda menjadi ragu untuk maju. Ia tetap di ambang pintu besi tua, menunggu Askar menghampirinya.

"Apa kita sudah menyiapkan kostum untuk drama?"

Sekejap mata Gerda tersadar. Pikir awalnya Askar ingin mengatakan hal yang terdengar manja, seperti prosa puitis karya remaja. Namun, khayalan pun berakhir dengan penyadaran bahwa ini semua pasal drama. Semakin sadarlah ia ketika anak-anak Arkais telah berkumpul di sekitar mereka, menanti inti pembicaraan.

"Tidak hanya kostum, kita butuh properti seperti skeneri, ornamen, dan lainnya, tapi yang paling penting sekarang, kita harus menyelesaikan urusan kostum," kata Askar panjang, "apa kamu punya ide untuk masalah itu?"

Baru akan menggeleng, seorang perempuan berpotongan piksi menghampiri dan menimpali, "Aku sudah memikirkannya, Askar. Tenang saja."

Keduanya menengok, menemukan Rana berdiri di tengah mereka bersama ulasan senyum merekah. "Yakin?" tanya Gerda dan Askar.

Rana mengangguk, memberikan sepintas presentasi yang telah memenuhi pikiran beberapa malam terakhir. Ini tentang sebuah gagasan yang cukup mencengangkan bagi sutradara dan sang pendamping. Pasalnya, Rana mengestimasikan bahwa drama kali ini akan lebih berestetika dengan konsep monokrom yang ia rancang.

Atasan putih dan bawahan berupa celana untuk tuan dan rok bagi puan berwarna hitam. Sebagai penguat kejadulan sekaligus pemanis, Rana menambah suspender di kedua pundak masing-masing lakon.

Tak ayal lagi, Gerda dan Askar menyetujui. Persoalan lain pun berdatangan setelah persetujuan, yaitu ketiadaan suspender di lemari Rana.

"Bagaimana dengan meminjam kepada Kepala Arasy?" usul Askar.

Rana menjentik jari, Gerda menepuk dahi. "Apa kamu gila? Dia tidak sudi berbagi, apalagi dengan manusia konyol seperti kita!"

"Jika seperti itu, kita akan tetap meminjam, tapi tanpa permisi." Alis Askar naik turun, menaruh bangga terhadap konsepsi yang berlawanan dengan kewibawaan.

"Ide bagus!" pekik Rana. "Aku akan membantu bila Gerda tidak mampu."

Gerda tidak mampu. Itu benar. Kegiatan meminjam tanpa permisi tidak pernah tergurat di kamus kehormatan sekalipun ia berada dalam kesulitan. Namun, kali ini saja otaknya berpikir sempit demi Askar. Ia tidak ingin salah atau kalah dalam melangkah, melihat Rana berusaha mencuri perhatian sang bujangan.

"Aku mampu, Rana. Sungguh," timpal Gerda, mengudarakan tangan yang terkepal.

"Itulah Gerda, sang garuda kita!"

Secepat kilat pikiran Gerda berputar ke masa setelah blognya mendulang kepopuleran. Gerda sang Garuda, sebuah julukan yang merajai tangga tenar Sekolah Arasy. Bukan karena prestasi, melainkan tulisan berpuisi. Alih-alih berbesar hati, justru Gerda ingin makan hati.

Tak sudi baginya jika tulisan yang terpublikasi secara pribadi beredar luas dan banyak dikutip oleh remaja patah hati. Ingin rasa Gerda mengoyak wajah orang di balik peristiwa ini.

"Askar, dari mana kamu tahu tentang blogku?" tanyanya langsung ke inti.

Mata Askar berkedut, senyum senangnya pun langsung surut. "Mengapa kamu bertanya seperti itu?"

"Aku ingin berterima kasih kepada dia yang membuatku terkenal," kata Gerda bersama nada sarkasme di sela-selanya.

Namun, Askar tidak mampu merasakannya. "Kamu yakin? Meskipun dia adalah Gahara, apa kamu masih mau berterima kasih?"

Pikiran Gerda menyempit di sini. Ilusi kasar mengenai pembalasan keji harus segera terealisasi. Harga diri Gahara pun dipastikan terjun dari tebing yang sangat tinggi menuju lautan mati.

Sebelum semuanya terlaksana, tubuh Gerda seketika tersengat akibat tubuh Askar yang mendekat. "Jika yang kamu maksud berterima kasih adalah mengacau, aku harap kamu berpikir lebih dulu."

Rupanya Askar sangat peka terhadap niatan Gerda. Ia lekas menjauhkan tubuh dari lelaki tersebut sambil berkata, "Terima kasih atas pengertianmu, tapi aku akan tetap mengacau."

"Dengarkan aku, Gerda." Askar maju selangkah. "Jangan menjalankan aksi bila emosi masih mengintervensi."

Tangan Gerda mengacung pada ujung hidungnya. "Dengarkan aku, Askar." Matanya menyalang garang. "Aku membutuhkanmu untuk memproteksiku, bukan mendefensi musuhmu."

°°°

A/N: Maaf jika part ini kurang enak dibaca. Anyway, bab pertama dari proyek ini udah selesai! Yeay! Tunggu aku di bab selanjutnya, ya!

-Frisca

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang