ketujuh

103 29 8
                                        

Sekolah Arasy kini menjadi tempat Gerda bersembunyi. Gahara memaki dengan penuh emosi, meminta pertanggungjawaban Gerda atas perbuatannya tadi pagi. Namun, gadis tersebut hanya mampu meringkuk di balik pintu kelas yang tertutup.

Sejujurnya Gerda melakukan tekel terhadap kaki Gahara karena tak sengaja, bukan untuk menjerumuskan taraf hidupnya ke level yang lebih rendah.

Terngiang di benaknya kala semua anak terkakak-kakak melihat hulubalang paling bermartabat malah menabrak tubuh Kepala Asrama Puan. Itu benar-benar menggelikan ketika Gahara mendapat omelan, tetapi di sisi lain Gerda merasa kasihan.

"Gerda! Keluar kamu!"

Kegaduhan di luar membuatnya kian membungkukkan badan.

"Gerda, jika aku menemukanmu, akan kuremuk wajah bulatmu, lalu kuserahkan kepada klub sepak bola sebagai hadiah khusus dariku!"

Degup jantung tak dapat terkendali, keringat pun mengucur deras dari dahi, hingga mendadak napasnya berhenti ketika knop pintu bergerak. Sudah dipastikan bahwa dia yang berada di luar adalah Gahara, mennyebabkan pikiran Gerda mulai berkeliaran ke mana-mana.

"Gahara!" Suara Kepala Arasy terdengar seketika. "Sedang apa kamu di sini?"

Mata Gerda mengerjap-ngerjap.

"Tidak ada. Aku hanya mencari ... entahlah, aku juga lupa." Gahara terkekeh kemudian.

"Cepat keluar. Sekolah ini harus steril dari anak-anak sepertimu!"

"Memangnya ada apa?"

Embusan Kepala Arasy semakin membuat hati Gerda tak karuan. "Rapat dewan guru."

Setelah itu, tidak ada lagi percakapan. Gerda tetapkan bahwa saat ini adalah aman baginya untuk keluar dari persembunyian. Usai bangkit, Gerda merenggangkan otot-otot yang sudah kaku sejak pengejaran tadi.

Pada akhirnya Gerda mampu keluar dengan selamat dan tiada cacat. Kakinya santai menyusuri koridor utama Sekolah Arasy. Sekitar 25 langkah lagi, maka ia akan berhadapan dengan pintu keluar. Namun, semua hanya sekadar prakira karena tiba-tiba seorang lelaki menariknya. Seketika mata Gerda terbuka mendapatkan Gahara di hadapannya.

Ludah pun terteguk dramatis. Ingin hati berteriak histeris. Akan tetapi, yang sedang ia lakukan kini malah menangis. Ia duduk bersimpuh, merangkup tangan memandang Gahara yang mengeruh.

"Aku tidak sengaja melakukannya, Gahara. Maafkan aku. Sangat benar jika aku ingin mengerjaimu, tapi bukan dengan cara kacangan seperti menjegal. Kemarin aku memang membuat rencana, dilaksanakan saat kamu lengah dan sendirian, bukan ketika ada banyak anak yang menyaksikan.

"Aku minta maaf, Gahara. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku berjanji, demi rinai yang turun ke bumi, demi padi yang dinantikan petani, dan demi melati yang bersemi, cinta kita akan tetap abadi."

Segera setelah lima kata terakhir lolos, Gerda membekap mulut rapat-rapat.

"Ma--af. Jangan pikirkan yang terakhir. Aku hanya bercanda," kekehnya, "tapi untuk kalimat awal, aku bersungguh-sungguh."

Tidak ada tanggapan dari Gahara selama ungkapan penyesalannya. Gerda pun mengerut dahi penuh bimbang. Pemuda itu masih di sana, tangan berkacak pinggang, sementara rambut melambai pelan.

"Kamu memaafkanku, bukan?" tanyanya penuh waspada.

"Iya," jawaban Gahara membuatnya bernapas lega, "tapi kamu harus ikut aku."

Gerda belum sempat mencerna lanjutan kalimat tersebut, tetapi Gahara sudah menyeretnya dengan kasar. Beberapa kali mereka berbelok ke persimpangan, beberapa kali pula tubuh ramping Gerda bersentuhan dengan objek-objek tak bernyawa. Tong sampah, bangku di muka kelas, bahkan dinding pembatas menjadi saksi betapa kejam sang hulubalang.

Namun, penderitaan akhirnya berlalu ketika mereka tiba di sisi belakang ruang guru. Gahara memerintahkan Gerda naik ke pundaknya, lalu memperhatikan nama-nama yang tertera di papan tulis. Demi maaf atas penjegalan tersebut, ia pun terpaksa patuh.

Kaki tak beralas berpijak pada pundak gagah seorang Gahara. Mata di balik kaca menelaah dengan saksama. Terdapat orang-orang yang dikenal sebagai guru Sekolah Arasy, tetapi fokusnya kini terpaku pada nama di papan putih.

Kacamatanya naik ke pangkal hidung, lalu berucap, "Ada namaku, Bahtera, Ayunda, Mason, dan Nirmala."

"Apa itu sesuai urutan?"

"Iya."

Gadis itu akhirnya diturunkan perlahan. "Memangnya ada apa dengan aku dan empat anak yang lain?"

"Mereka kemungkinan besar akan dikeluarkan dari Sekolah Arasy."

Tiba-tiba ada petir mendegam dalam jiwa Gerda. Sebuah berita buruk itu membuatnya membeku di sana, entah harus merespons apa.

"Tenang saja, itu hanya kemungkinan besar, Gerda." Gahara merengkuh pundaknya pelan. "Masih ada kemungkinan kecil untukmu bertahan."

°°°

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang