ketujuhbelas

71 17 0
                                    

Menghadapi Kepala Arasy ternyata sama sulitnya dengan menangani Gahara. Itu dirasakan oleh Gerda ketika mengantar naskah revisi kepadanya. Tiba di ruang pribadinya, Gerda lekas disuguhkan oleh bahasa marah khas orang tua, meracau ke sini dan sana tanpa titik ataupun koma. Ia mengkritik betapa terlambat kelas Arkais dalam mengumpulkan naskah.

Andai Kepala Arasy bukan orang berjabatan tinggi, Gerda dengan senang hati melumurkan nasi basi tepat di kepalanya yang tidak ditumbuhi rambut lagi. Benar kata pepatah, "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Itupun bekerja sempurna dalam diri Gahara.

Embusan napas Gerda terdengar sangat berat saat keluar dari ruang mewah bagai neraka. Namun, lekas enyah kala Biah menyapa dengan ramah.

"Askar mengatakan kamu menemui Kepala Arasy, jadi aku ke sini. Apa urusanmu sudah selesai?" tanya Biah.

Anggukan pun diberikan, lantas bertanya, "Ada perlu apa?"

Biah menggiring Gerda untuk melangkah, menyusuri koridor tanpa tahu arah. Sambil berjalan, Biah mengungkapkan permintaan maaf atas apa yang telah Anggara perbuat padanya, tentang interpretasi dan segalanya.

Jujur saja, mudah memaafkan bukanlah tabiat asli seorang Gerda. Setiap ucapan yang diterima bagai belati, menyayat perih tepat di hati, lukanya pun belum mampu terobati. Akan tetapi, ini Biah, berbicara penuh pengharapan agar Anggara mendapat maaf dari Gerda.

Lelaki dengan pemikiran seperti balita, lugu, serta ceria itu menyebabkan Gerda tidak sanggup menelantarkannya.

"Anggara pasti melakukan banyak kesalahan dan kamu pasti tidak ingin memaafkan." Biah menunduk lesu.

Dua pasang langkah memilih persimpangan di sisi kiri, menuntun mereka kepada ruang ganti, tempat yang menjadi saksi bahwa Anggara mengacaukan kostum hitam putih.

"Ya, dia memang melakukan kesalahan. Untung saja kostum untuk pentas nanti tidak rusak," racau Gerda, memperhatikan seluruh barang di ruang sederhana itu.

"Demi Anggara, aku bisa melakukan apa pun untuk mendapat maafmu, Gerda."

Alis Gerda bertaut. Sebesar itu rasa sayang Biah kepada Anggara. Ia menarik kursi plastik di depan meja rias, memikirkan orang yang menyayanginya dengan sangat keras. Gerda tak memiliki siapapun yang rela melimpahkan afeksi istimewa kepada perempuan berwatak aneh sepertinya.

Saudara, paman dan bibi, kakek atau nenek, mereka seolah telah tiada saat Gerda memerlukan tempat untuk bercerita. Berbicara dengan orang tua hanya satu atau dua kali, itupun ketika mereka yang mulai bertanya. Gerda laksana garuda yang terasingkan di dalam lembah. Kesendirian membuat ia harus berdiri sendiri di tengah kerapuhan jiwa.

Hidupnya berbanding terbalik dengan Biah yang selalu mendapat perlindungan dalam diam dari Anggara. Hidupnya tak sebaik Anggara yang selalu mendapat perjuangan khusus dari Biah.

Sudah sejak lama ia memusnahkan tanya mengenai kabar keluarga di ujung dunia sana. Entah mereka masih menyimpan rindu, tawa, bahkan cinta untuk satu anggota keluarga yang sekian tahun tak jumpa. Entah mereka sudi untuk singgah sejenak dalam pementasan drama. Entah tangan mereka mau berjabat, berucap selamat, atau memberi dekap erat saat tidak sengaja berpapasan.

"Gerda, apa kamu baik-baik saja?" tanya Biah, mengguncang pelan pundaknya.

Sadar atas serangkaian kalimat putus asa di benaknya, Gerda tersenyum dan mengusap pelupuk mata. "Tidak. Aku baik-baik saja."

"Apa kamu menangis?"

Matanya yang masih berkaca-kaca mendadak terbelalak. "Apa aku terlihat seperti itu?"

Anggukan dari Biah membuatnya lemah. Sambil mengusap lagi air kesedihannya, Gerda berkata, "Aku tidak tahu harus bicara apa. Rasa sayangmu pada Anggara mengingatkanku akan orang tuaku yang sekarang ... entahlah, mungkin mereka tidak mau mengingat anak perempuannya."

"Jangan bicara seperti itu, Gerda." Biah mengusap puncak kepalanya. "Di dunia ini memang terdapat istilah mantan istri, mantan suami, mantan kekasih, tapi ingatlah satu hal; tidak ada yang namanya mantan anak. Mereka pasti masih mengingatmu sebagai anak--"

Suara dentuman keras di dalam lemari kayu memotong nasihat Biah. Mereka perlahan menghampiri dan membukanya dengan hati-hati. Tampaklah sosok Anggara menyungging senyum di bawah jajaran pakaian yang menggantung. Dengan santai ia keluar, memberi sentuhan lembut pada rambutnya yang sedikit berantakan.

"Hai, Biah," sapa Anggara ramah, tetapi berubah tajam ketika memandang Gerda. "Hai, pencari atensi."

Awalnya Gerda ingin memaafkan perilaku Anggara atas nama kemanusiaan. Namun, mendengar Anggara melontarkan sapaan sarkastis, Gerda ingin menarik kembali niat tersebut, mengubahnya menjadi pembalasan sadis.

"Biah, untuk apa kamu bersama perempuan idiot ini?" tanya Anggara. "Dengan meminta maaf demi aku, dia hanya akan membuatmu terlihat menyedihkan."

°°°

Kurang tiga part + epilog, maka penderitaan ini bakal selesai

Kurang tiga part + epilog, maka penderitaan ini bakal selesai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang