keenam

131 26 11
                                        

Gundahnya menyelimuti kalbu. Tiada yang mampu ia ungkap sepatah kata pun. Pengabaian dari Askar membuat Gerda mati kutu, mendekam dalam selimut tanpa seorang yang tahu. Namun, terdapat si dia yang berani bertandang ke kamar perempuan demi melihat keadaan Gerda. Tangannya memegang sebuah kamera, tengah melakukan perekaman selama perjalanan.

Semakin dekat ia melangkah, tiba di sisi ranjang besi milik Gerda. Kamera yang menyala telah mengarah kepada sang perempuan. "Katakan hai!" ucapnya riang.

Gerda menengok sejenak. "Hai, Biah," balasnya malas.

Respons demikian menyebabkan Biah terdiam, duduk di bibir ranjang kemudian. Kamera perekam pun dinonaktifkan, lantas bertanya, "Mengapa kamu di sini? Ayo ke atas, kita akan latihan hari ini!"

Gerda tak memberi tanggapan, badannya justru berguling menghadap dinding. Biah kasihan, tetapi hanya mampu menggeleng dan menepuk pangkal lengannya dengan pelan.

"Jika kamu suka keheningan, baiklah. Jika kamu suka keramaian, keluarlah. Kita akan berdansa, bermandikan senja yang menyapa, hingga tiba masanya bahwa kamu dan aku harus berpisah."

Sudah sekian kali karya blognya dikutip. Akan tetapi, hari ini saja Gerda ingin melihat sang pengutip. Bukan Askar, bukan pula Gahara. Dia tetaplah Biah bersama kamera mati di tangan dan segaris senyum merekah. Setidaknya itulah yang mampu Biah perbuat supaya Gerda bangkit.

Keluarlah napas kelegaan di antara keduanya. Mata berjumpa mata, Biah tiba-tiba tertawa. Rambut mekar Gerda bagai merak jatuh cinta menjadi penyebab utama. Namun, sang pemilik masih tak sadar juga sampai Biah beranjak, membelai kepala Gerda penuh rasa.

"Kamu tidak boleh berantakan, apalagi di depan pemuda tampan."

Lepasnya perkataan tersebut membuat Gerda hilang kepercayaan bahwa Biah merupakan pemuda penuh kebijaksanaan. Selama beberapa tahun terakhir, gelar mahir dalam bernasihat selalu tersemat, itu yang menjadikannya juga kelas Arkais berharkat.

"Aku tidak terkesan sedang mendewatakan diriku, bukan?"

Itu yang ingin Gerda ungkapkan. Namun, demi membalas budi, Gerda pun menjawab, "Tentu saja tidak."

"Jangan bohong, Gerda. Aku tahu kamu ingin mengatakan sebaliknya. Katakan saja!" tantang Biah bersemangat. "Aku adalah manusia terjelek di dunia. Wajah para hulubalang kelas lebih memesona dibanding aku. Bagai penasihat, aku dibutuhkan karena kemahiran, bukan ketam—"

Mulutnya terbungkam akibat bantal yang Gerda lempar. "Aku tidak ingin mendengar keluhan payah itu, Biah!"

Gerda yang dahulu telah merasuk ke dalam rusuk. Biah suka itu. Sebagai penghargaan, kamera yang mati kembali menyala dan mengarah kepada Gerda. Kala Biah menyuruhnya berkata sesuatu, kesalnya Gerda perlahan tergradasi oleh solusi. Terpikir dalam kepalanya sebuah rencana, kali ini tanpa emosi.

Akan tetapi, untuk menutupi sebuah curiga, Gerda pun bertanya perihal keberadaan kamera di tangan Biah. Sejurus Biah menoleh kepada benda hitam berlensa tersebut, lalu menyatakan bahwa semua ini demi adegan "dibuang sayang". Secara terbuka ia mengungkapkan bahwa yang paling menarik dari alur sebuah film adalah bagian itu.

"Mengapa?" tanya Gerda.

"Hanya di bagian itu aku maupun semua orang dapat melihat betapa jujur film itu, seru, dan menciptakan memori tersendiri."

Tiga kata terakhir menyebabkan Gerda masuk ke dalam ilusi. Memori tersendiri pasti akan terjadi suatu saat nanti, tetapi terhadap hidup Gahara.

"Apa aku boleh meminjam kameramu?" Gerda bertanya dengan penuh pengharapan.

"Untuk apa?"

"Menciptakan memori tersendiri."

Sekali persetujuan dari Biah membuatnya bahagia tidak karuan. Gerda melompat dari ranjang besi, menarik Biah berdiri, lantas menari di bawah plafon putih sebagai saksi. Tiada yang lebih menyenangkan selain melihat Gerda seperti ini.

Mereka menyusuri koridor asrama, kamera terus mengarah kepada Gerda yang asal bersuara. Langkah kaki akhirnya sampai di tempat Arkais berlatih. Sekejap mata mereka terperangah melihat hadirnya Gerda, sesaat kemudian bubar akibat Askar menyuruh kembali bekerja.

Askar menghadap Gerda tak yakin. "Kamu datang lagi? Apa kamu serius?"

Andai boleh terus terang, sesungguhnya Gerda masih menyimpan kejengkelan. Namun, Biah langsung menyikut disertai bisikan, "Kejujuran juga akan menciptakan memori tersendiri. Percayalah!"

"Aku masih sebal kepadamu!" Ia kemudian menginjak kaki Askar. "Gahara selalu menyebalkan setiap bertemu denganku, tapi kemarin kamu lebih dari dia! Kamu lebih dan sangat menjengkelkan!"

"Baiklah, aku minta maaf."

"Hanya itu?"

"Tidak." Askar menarik diri Gerda dari keramaian, menuju sayap kiri dari atap Asrama Puan. Telunjuk mengarah ke bawah, tepat pada objek di halaman. "Dialah Gahara. Perlakukan dia semaumu."

°°°

A/N: Hai! Ini dia bab ke-2 dari si PROYEK! Bagaimana? Kalimatnya maksa banget ya? 👽👽👽

Terima kasih sudah membaca!

-Frisca

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang