Urusan sekolah siswa berlawan, pasal main siswa berkawan. Askar juga anak-anak Arkais pun demikian. Tiada bernama lawan kala mereka menyepak takraw bersama laki-laki Klasik di halaman Asrama Puan. Di beranda pula, para perempuan duduk, saling berpukul tongkat demi penyemangat, termasuk Gerda.
Hanya tempat tersebut yang boleh dijadikan lahan bertanding dengan batas masa hingga 8 malam. Kepala Asrama Tuan melarang siapapun melintasi halaman dikarenakan adanya bunga-bunga tersayang. Seperti terdapat kesalahan teknis terhadap penempatan kerja para Kepala Asrama tersebut.
Namun, hal itu bukan lagi sebuah persoalan karena kini yang patut dipermasalahkan adalah bola rotan menampar keras wajah Askar. Ia gelayaran sambil memegangi muka merah, lalu tumbang di ujung beranda.
Gerda lekas bangkit, menemui Askar dengan kelabakan. "Siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan ini?" bentaknya, duduk bersimpuh, meriba kepala Askar pada pangkal paha.
Seorang di balik kerumunan melantas, dengan bangga berkata, "Aku."
"Anggara?" Gerda menyipit.
Sang pemuda mengangguk, mengukur tengkuk. "Maaf, aku tidak sengaja. Aku terlalu semangat menyerang Gahara dan ... ya, Askar terkena tendanganku," katanya malu-malu, "tapi tenang saja, aku akan mengobatinya."
Ia bertongkat lutut, menuntun Askar bangkit. Lengan tersampir di pundak, kemudian Anggara membawa kawannya menuju Asrama Tuan. Blunder tersebut sesungguhnya telah berlalu, pertandingan pun berlanjut, tetapi Gerda masih menghening, menyandar pilar tanpa melepas pandang pada dua figur yang mulai menghilang di persimpangan.
Ada asa berkata dalam benak Gerda supaya wajah Askar tidak terluka parah. Selain itu, terpikir olehnya mengenai motif penyerangan Anggara terhadap Gahara. Sepengetahuan Gerda, meski Anggara adalah pemuda emosional, ia menyakiti orang dengan perkataan, bukan perbuatan.
"Ini pasti pekerjaan Gahara!" Satu tangan terkepal, kemudian menghantam permukaan pilar.
"Ternyata anak-anak Arkais itu sangat bodoh. Untuk apa mereka harus menyalahkan Gahara di saat dia tidak melakukan apa pun?"
Gerda berbalik tubuh, berhadapan langsung dengan Dinar dan Batari. Kedua gadis bersurai laksana kuda menggeleng kasihan, tangan bersilang, sementara seringai licik tak mampu tertahan. Andaikan mereka bukanlah siswi kepercayaan Kepala Arasy yang harus diproteksi, Gerda akan menghantam buku jarinya tepat ke muka.
"Di sinilah kita, Dinar. Kita berhadapan dengan tokoh utama kisah tragis dari tanah Arkais. Dalam sunyi mereka menangis," kata Batari.
Dinar mengangguk dan berucap, "Dalam tong sampah mereka mengais."
Ini terlampau batas kenormalan. Wajar bila mereka menghina Gerda, tetapi tak dapat termaafkan saat tempatnya bernaung dari tahun ke tahun mendapatkan cela. Lagi, kedua tangan yang tergenggam dipenuhi oleh luapan emosi. Ingin naluri merusak wajah Dinar dan Batari, tetapi Gerda memilih jalan yang lebih elegan.
"Syair yang bagus, bocah Klasik," pujinya sarkastis. "Aku juga punya, bahkan khusus untuk kalian."
"Benarkah?"
Kacamata naik ke pangkal, tangan pun bersilang. "Malam pun berbisik, berkata padaku bahwa mereka terusik. Di balik dinding telah kutelisik--"
"Merekalah Klasik, kelas yang sangat asyik."
Syair Gerda terpotong oleh cetusan asal dari seorang di sampingnya. Kepala mendongak, terdapat Gahara menyeringai licik. "Aku tidak membutuhkan sahutan payahmu, Tuan Gahara yang terhormat!" ketus Gerda, mata menyipit di belakang kaca cembungnya.
"Aku tidak butuh pendapatmu. Lagi pun aku hanya ingin memuji kelasku." Bahu Gahara berkedik tak peduli. "Tidak salah, bukan?"
Dua anak dara kemudian pergi atas perintah Gahara, demikian pula Gerda yang mengerling sekejap, lantas mengendap-endap di belakang. Ia tak sudi bersisian dengan hulubalang congkak itu lebih dari semenit. Takut-takut rambutnya mengalami kerontokan. Akan tetapi, yang terjadi justru tangan kekar Gahara sukses menarik rambut urai Gerda.
Teriaknya nyaring, meronta disertai berbagai serangan yang tertuju pada Gahara. Bagai rusa melawan raja rimba, tentu saja sang pemenang adalah Gahara, bahkan bisa membuat tubuh Gerda berhadapan dengannya.
"Aku tidak menyuruhmu pergi," celotehnya.
Gerda meringis, menahan sakit pada kulit kepala. "Apa itu harus?"
"Tentu saja. Aku adalah anak pemimpin di sini." Dadanya yang terbusung pun ditepuk angkuh.
"Hanya anak pemimpin. Mungkin saja suatu saat kamu akan menjadi anak pengais tong sampah," balas Gerda, bersilang tangan diselingi gelak singkat. "Lagi pula kamu tidak pantas memberiku perintah. Aku adalah tuan dalam jiwa dan ragaku. Aku bergerak atas komandoku, bukan karena orang lain dengan gelar di atasku."
"Sepertinya aku pernah melihat kalimat itu di sebuah blog."
°°°

KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Aku Dewasa
Truyện Ngắn[ COMPLETED ] Ada gadis di lorong gelap sekolah. Mata memindai ke kiri dan kanan, mengintip seorang lain yang tengah memburunya. Kaki melangkah cepat, tangan berdekapan erat, rambut beterbangan. Ludah terteguk ke tenggorokan, mengambil persimpangan...