05

2.8K 325 17
                                    

Seulgi nonton tv dengan nyaman di sofa sambil tangannya memeluk payung milik Jimin. Di apartemen itu juga seorang lelaki yang dua tahun lebih tua darinya sibuk mondar-mandir sambil berdecak kesal namun Seulgi tak ambil pusing. Ia sudah biasa.

"Dek, bantuin cari kek!"

"Nyari apaan lagi sih?"

Seulgi tak habis pikir dengan abangnya ini yang sungguh pelupa. Rasanya setiap detik ia pasti mencari barangnya padahal sedetik yang lalu masih ia pegang.

"Kunci mobil. Kan bahaya kalo ilang, papa pasti ngambek."

"Lagian kunci mobil aja sampe ilang duh padahal tadi pagi lu pegang, bang!" Seulgi jadi kesal sendiri. Ia akhirnya merasakan tekanan darah tinggi yang mamanya rasakan kalau berhadapan dengan Kang Seunggi. "Di tas kali. Tadi kan katanya ada kelas pagi."

"Gak mungkin lah! Gue biasa nyimpen kunci yang di atas lemari atau gak di baju."

Seunggi kembali mondar-mandir di depan tv menghalagi pandangan Seulgi. mondar-mandir aja tanpa nyari atau mikir. Jelas lah, gak akan ketemu.

"Cari dulu aja sih, bang."

Suara bel berbunyi.

Siapa juga yang bertamu!? Seunggi gedek.

Dengan malas, Seulgi berjalan membuka pintu.

Seulgi kaget. Di depan pintunya. Ada cowok itu senyum.

            "Dek, ketemu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dek, ketemu."

Benar saja. Kuncinya ada di tas. Kok bisa? Gak tau lah yang penting ketemu.

"Eh, ada abang ipar."

IH!1!1!

"Eh ada Jimin. Mau ngapain nih? Sori gue mau keluar."

"Dih, sape juga yang mau ketemu elu..." Jimin tertawa kecil, "Mau ajakin Seulgi keluar. Diijinin kagak nih?"

Seunggi menepuk bahu Jimin, "Kalo boleh nggak usah dibawa balik lagi."

Seulgi melempar tatapan jahat pada Seunggi namun tidak terlihat jahat sama sekali.

"Bawa aja, Jim, gak guna di sini juga. Yaudah gue duluan, ya!" Seunggi buru-buru pergi sebelum Seulgi melayangkan pukulan sayangnya. Mau ketemu bebeb, kalau penyok nanti diputusin. Jomblo dong. Kalau Minggu jadi pengangguran lagi. Gak boleh. Nanti bulukan depan tv sama Seulgi. Ih gak banget.

Seulgi diam aja mematung depan Jimin dan baru gerak pas Jimin berdeham. "Gak disuruh masuk nih?"

.

.

.

Jimin menyampirkan tangannya di bahu Seulgi. Sebanyak Seulgi menepis, sebanyak itu pula tangan Jimin bertengger di sana. Cewek itu nyerah. Yasudah, biarin deh. Rezeki dari gebetan jangan ditolak. Pamali.

Mereka jalan aja di kota. Lewati beberapa toko sambil sesekali Jimin liatin barang yang dipajang di depan tokonya.

"Nyari apa sih?" tanya Seulgi

"Mama gue ulang tahun lusa. Gue pengen kasih hadiah tapi bingung mau kasih apa soalnya setiap ditanya mau apa, mama gak pernah jawab dengan pasti."

"Mama mah emang gak pernah mengharapkan sesuatu yang lain dari anaknya selain anaknya berbakti sama dia. Nggak butuh tuh barang mahal atau branded dari anaknya."

Jimin ngangguk-angguk. "Tapi kan setidaknya gue memberi sesuatu yang memiliki bentuk."

Seulgi ikut berpikir. Hadiah macam apa yang sekiranya pas buat calon mertua—eh.

"Emang mama lo nggak punya sesuatu yang dia butuhin banget sekarang?"

Jimin berpikir. "Apa lo aja kali ya gue hadiahin?"

"Lah, kok gua?!"

"Mama gue waktu itu minta menantu. Kan lo calon menantu mama gue."

"Anjir! Berisik lu, tai kadal."

Seulgi mempercepat langkahnya untuk menghindari Jimin yang memanggil namanya dan mencoba menyamakan langkah dengan Seulgi.

Jimin nggak tahu kalau Seulgi lagi melting sekarang. Dia juga nggak tahu semerah apa pipi Seulgi.

Mauuuuuu eh maluuuuuu

bear with me | seulminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang