Gadis dengan rambut coklat itu nampak memandangi sebuah rumah yang begitu sunyi. Ia menghela napas bimbang saat jari jemarinya mulai mengapai knop pintu. Segelintir harap bersemayam dalam hatinya, namun secepat kilat ia menepis. Toh seberharap apapun dirinya, sosok yang di nanti tak pernah ada.
"Aku pul-"
Gadis itu termenung kala melihat seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa ruang tamu dengan sebuah surat digengamannya.
"Anda masih ingat rumah ternyata" sahut gadis itu sambil berdecak malas tetapi tak dapat dipungkiri bahwa salah satu sisi hatinya merasa bahagia saat ini.
"Jennie-ya duduk disini ada yang ingin ibu sampaikan" ucap wanita tersebut sambil menatap serius sang putri semata wayang.
Jennie hanya mengerlingkan matanya malas dan mengikuti perintah sang Ibu. Nyonya Kim langsung meringis ngilu kala mendapati wajah putrinya yang babak belur.
"Jennie-ya apa tak bisa sehari saja kau tak membuat masalah? Ibu sampai harus izin dari kantor kau tahu" ucap sang Ibu sambil memijit pelipisnya.
"Kalau perkerjaan anda lebih penting sekiranya tak usah pedulikan keadaan saya, seperti yang selalu anda dan suami anda lakukan" balas Jennie dingin.
Sang Ibu menahan napasnya mendengar kalimat formal yang dikeluarkan oleh anaknya. Bagaikan dirinya hanyalah orang asing yang tengah mencampuri urusan orang lain. Apakah sebegitu acuhnya ia pada Jennie, sampai-sampai ia tak mengenali anaknya sendiri.
"Jennie-ya tak perlu seformal itu kepada Ibu sendiri. Ib-" wanita itu tertegun kala tangannya mencoba meraih rambut sang anak tetapi langsung di tepis kasar olehnya. Sungguh hati ibu mana yang tidak sakit melihat sang anak menolak kehadirannya mentah-mentah.
"Anda sebut diri anda apa? Ibu? Mana ada Ibu yang lebih mementingkan pekerjannya dibandingkan anaknya sendiri? Bagi saya kedua orangtua saya sudah mati. Maaf, saya permisi dulu" ucap Jennie dan langsung melengang pergi tak membiarkan sang Ibu melihat air mata yang sudah siap mengaliri pipi mulusnya.
"J-Jennie-ya! Jennie-ya!" pekik sang Ibu yang sama sekali tak dihiraukan oleh Jennie.
Gadis itu terus melangkahkan kakinya menaiki setiap anak tangga sebelum menutup pintunya kencang sehingga menimbulkan bunyi debuman yang sangat keras yang mampu membuat sang Ibu terlonjak kaget.
"Maaf Jennie-ya, Ibu terpaksa melakukan ini semua nak. Maaf" lirih pelan sang Ibu dan mulai menangis dalam diam sama seperti yang tengah anaknya lakukan saat ini.
¤¤¤
Sementara itu di tempat lain. Seorang gadis masih terbaring lemah dan tak pernah berhenti terbatuk-batuk, dadanya serasa sesak dan udara disekitarnya terasa menipis sehingga dirinya sulit untuk bernapas. Kedua orangtuanya nampak hilir mudik mencemaskan keadaan sang anak sementara saudaranya hanya mampu terdiam terpaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are : Blackpink
FanfictionKisah ini bercerita tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan keempat gadis cantik untuk sebuah ikrar berharga bernama 'persahabatan'. Yang membangkitkan sebuah tembok kokoh yang melindungi mereka dari segala rasa sakit yang sungguh menyiksa. Karna ta...