Jisoo memandang langit yang membungbung tinggi di atas dirinya. Langit seolah mengejek dirinya yang tengah larut dalam air mata, dalam rasa kesendirian. Perlahan Jisoo kembali melangkah mendekati pembatas dan mendongakan kepalanya mencoba menahan air mata yang makin deras keluar. Benar, ia tengah berada di atap sekolah saat ini. Ia berbohong kepada Rosé dan Lisa saat mengatakan ia ingin kembali ke kelas. Ia memang seorang pembohong yang ulung, bukan?.
Sejujurnya Jisoo hanya perlu waktu sendirian, ia hanya perlu waktu untuk menjernihkan pikirannya yang tengah kalut. Kembali ia ingat pertengkarannya dengan sang Ayah yang membawanya pada sebuah pilihan sulit antara kebahagiaan sahabatnya dengan kebahagiaan dirinya sendiri.
Flashback on
Pagi hari yang cerah di sebuah rumah yang suram. Semalam Jisoo tak bisa keluar rumah untuk pergi ke basecamp akibat para bodyguard sialan yang berjaga tepat di depan pintu kamarnya. Untungnya bukan hanya dirinya saja yang tidak bisa melarikan diri, Rosé pun merasakan apa yang ia rasakan. Terkurung di sebuah bangunan yang disebut rumah, ah tidak bagi mereka tempat bernama rumah merupakan sebuah neraka.
Kakinya berjalan menyelusuri setiap anak tangga menuju ke ruang makan. Disana sudah duduk kedua orangtuanya dan Irene yang menyunggingkan senyumnya yang sama sekali tak Jisoo pedulikan. Para maid mulai beraksi menyediakan sarapan untuknya.
"Tak ada sapaan selamat pagi?, itu sangat tidak sopan Jisoo-ya" sahut Ibu sambil menaruh sendok dan garpu yang sedaritadi menemani kegiatan sarapannya.
"Cih, untuk apa? Pagiku sudah cukup suram hanya untuk mengatakan selamat pagi kepada kalian" ucap Jisoo acuh.
"Jisoo-ya jangan memulai keributan di meja makan. Tak bisa kah kau makan dengan tenang seperti kakakmu? Sudah berapa kali Ayah katakan cara makanmu harus angun seperti Irene" ucap Ayah dan ikut menaruh sendok dan garpunya.
"Kalau bahkan cara makanku tidak becus mengapa tak sekalian saja kalian tak perlu memberiku makan?, aku cukup bahagia mati perlahan tanpa makanan" balas Jisoo sambil menatap sang ayah jengkel.
"Jisoo-ya! Kau berani melawan Ayahmu! Jaga cara bicaramu itu dasar anak tidak tahu diuntung! Ini semua gara-gara kau bergaul dengan orang-orang yang tidak sedera-"
"Cukup Ayah! Aku sudah cukup muak mendengar kau menyebut sahabatku selayaknya sampah. Aku lelah terus diam dan menuruti semua perintah Ayah dan ibu. Aku lelah harus selalu meniru Irene, meskipun kami saudara kami berbeda!" sentak Jisoo sambil mengebrak meja makan.
Sang ayah bangkit dari duduknya dan menghampiri Jisoo, tangannya nampak berayun hendak menampar Jisoo. Sementara Jisoo menatapnya nyalang menunggu rasa sakit yang sebentar lagi akan menyapa pipinya
"Ayah!"
Plak
Jisoo terdiam tak percaya saat menyadari Irene melindungi dari tamparan Ayah yang sungguh kuat itu hingga tubuhnya terjatuh dan menabrak lantai dengan cukup keras. Ayah nampak terdiam, beliau jelas terkejut bukan main melihat anak kesayangannya mengaduh kesakitan. Apa-apaan gadis itu, ucap Jisoo dalam hati tak habis pikir dengan tindakan sok heroik dari Irene.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are : Blackpink
أدب الهواةKisah ini bercerita tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan keempat gadis cantik untuk sebuah ikrar berharga bernama 'persahabatan'. Yang membangkitkan sebuah tembok kokoh yang melindungi mereka dari segala rasa sakit yang sungguh menyiksa. Karna ta...