Sudah tiga hari berlalu, tiga hari dinyatakannya sosok Kim Jisoo putri bungsu dari keluarga Kim yang kaya raya menghilang. Pagi itu, terlihat berbeda dari biasanya. Rumah mewah yang biasanya penuh kekakuan tiba-tiba saja dipenuhi orang-orang dengan awan mendung mengelayutinya.
Sejak Jisoo dinyatakan hilang, Ibu Jisoo begitu terpukul. Ia benar-benar menyeseli segala perbuatannya pada Jisoo. Jika Irene tak menyadarkannya mungkin saja ia akan jauh lebih menyesal daripada ini. Dirinya baru saja menyadari kesalahannya selama ini yang tak pernah memikirkan anak bungsunya. Hari-harinya hanya dilewati dengan sebuah isak tangis lirih penuh penyesalan ditemani Bibi Kim dan juga Ibu Rosé —yang tentu saja diminta oleh Rosé agar Nyonya Kim tak merasa sendirian—.
Tak jauh beda dengan sang Ibu, Irene pun melewati harinya dengan penuh isak tangis. Biar bagaimana pun segala hal yang terjadi diakibatkan oleh kebencian sang adik kepadanya. Dirinya benar-benar merasa seperti tersangka utama dalam menghilangnya Jisoo.
Ayah Jisoo?, pria paruh baya itu tak banyak bicara dan hanya mengerahkan seluruh kepolisian serta bodyguardnya untuk mencari keberadaan anak bungsunya itu. Tindakannya sudah cukup membuktikan seberapa besar rasa bersalahnya karena terlalu sering mempedulikan masalah harta dibandingkan anaknya sendiri. Runtuh sudahlah sifat keangkuhan serta keserakahan dalam keluarga Kim, semuanya menghilang bersamaan dengan hilangnya sang anak.
Tuan Kim menatap rumahnya yang terlihat sangat ramai, para bodyguard dan juga pihak kepolisian yang nampak masih asyik dalam investigasi mereka. Isakan sang istri dan sang anak sulung serta suara-suara penenang dari sekretarisnya Nyonya Kim, Nyonya Park—ibunda Rosé—, Lisa dan juga Rosé membuat hatinya tiba-tiba saja terasa berdenyut sakit. Kembali terngiang di telinganya kata-kata menyakitkan dari sang anak bungsu bagaikan menamparnya dengan telak.
Orang-orang ini, orang-orang yang berada disekeliling sang anak memiliki sesuatu yang bahkan tak bisa dibelinya dengan uang sebesar apapun. Sebuah kasih sayang yang tulus, sebuah kasih sayang yang tak pernah dapat diberikannya kepada kedua putri cantiknya. Ia telah gagal sebagai seorang ayah, ia telah gagal melindungi dan menjaga harta yang paling berharga dari sebongkah berlian, kedua putrinya. Ia benar-benar seorang ayah yang cacat.
"Ayah" suara lirih itu mengambil alih atensi Tuan Kim dari hiruk pikuk dihadapannya. Ditatapnya sang anak sulung yang nampak kacau dengan kantung mata tebal dan juga mata yang sembab membuat dirinya semakin merasa bersalah.
"Ada apa Nak?" tanyanya lembut mengusap pelan rambut sang anak, sesuatu yang tak pernah dilakukannya sebelumnnya dan ia pelajari dari perlakuan Rosé terhadap Lisa.
"Apakah Jisoo akan baik-baik saja?" pertanyaan sama yang selalu dapat membuat hati Tuan Kim merasa sakit.
"Jisoo anak Ayah yang kuat, ia pasti baik-baik saja" ucap Tuan Kim terdengar ragu-ragu ditelinga Irene.
"Bagaimana kalau Jisoo tak bisa ditemukan Ayah?"
"Ayah akan menyerahkan seluruh harta benda yang Ayah miliki demi ditemukannya Jisoo, Ayah akan melakukan segala hal untuk menemukan Jisoo, untuk menebus segala dosa Ayah padamu dan juga Jisoo. Ayah janji akan hal itu dan janji seorang pria tidak akan pernah diingakarinya" ucap Tuan Kim sambil menangkup pipi tirus Irene dan menghapus lembut air mata yang tak bosan-bosannya menuruni pipi anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are : Blackpink
FanfictionKisah ini bercerita tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan keempat gadis cantik untuk sebuah ikrar berharga bernama 'persahabatan'. Yang membangkitkan sebuah tembok kokoh yang melindungi mereka dari segala rasa sakit yang sungguh menyiksa. Karna ta...