Mentari nampak naik dari peristirahatannya, membawa semburat-semburat keemasan yang menandakan hari baru telah datang. Hari baru tetapi tidak untuk sebuah jiwa yang baru. Gadis itu masih berdiam diri di rooftop sebuah gedung tak terpakai, dengan mata bengkak yang nampak setia menatap lurus ke depan. Semilir angin menerbangkan rambutnya, menyibakkan wajahnya yang nampak begitu kacau dengan sisa-sisa air mata dikedua pipinya. Gadis itu perlahan menghembuskan napas pelan merasakan hatinya yang terasa begitu berat serta hampa. Perlahan gadis itu melirik ke arah semua benda kenangannya bersama sosok sahabat yang telah meninggalkannya untuk selamanya.
Rasa takut, frustrasi serta amarah menguasai hati gadis itu hingga tiba-tiba saja dirinya secara kasar mengambil sebuah tong berukuran besar yang berasal dari besi ketengah-tengah rooftop. Matanya nampak kesetanan mencari daun-daun kering serta beberapa balok kayu yang sudah tak terpakai. Gadis itu nampak mengatur deru napasnya yang berburu sebelum mengambil sebuah pematik dari saku jeansnya. Ia menatap kosong ke arah kobaran api kecil dihadapannya, sebelum mengalihkan atensinya kearah benda kenangannya bersama sang sahabat. Gadis itu pun tanpa pikir panjang langsung melempar pematik tersebut kedalam tong besi dan tak memerlukan waktu yang lama kobaran api yang besar tercipta dihadapannya.
Gadis itu pun berbalik dan memungut benda-benda itu sebelum merobek-robeknya dengan kesetanan dan melemparnya asal ke dalam tong tersebut dengan air mata dan jerit pilu yang lagi-lagi menemaninya.
"Park Rosé!" teriaknya untuk yang kesekian kali, gadis itu menjambak rambutnya sendiri merasakan sebuah godam besar menghantam kepalanya tanpa ampun.
"Kau puas sekarang? Kau puas meninggalkan gadis brengsek ini dengan segala rasa penyesalan memuakkan ini?. Apa ini caramu menghukumku? Aku-hiks aku tak sekuat yang kau tahu Park Rosé!. Aku hanyalah berandalan yang kesepian, yang pada akhirnya menemukan sebuah kasih dari kalian, darimu! Tapi apa yang aku tuai sekarang hum?" teriak Jennie—gadis itu—sambil menatap nanar kearah kobaran api yang semakin besar dihadapannya.
"Aku hancur tenggelam dalam kobaran api penyesalan yang kau buat! Aku-aku akan berubah menjadi abu yang tak berarti dan akan terhempas dengan mudah oleh angin. Aku lemah Park Rosé! Aku pecundang hiks" ucap Jennie dan jatuh merosot bertemu dengan dinginnya lantai rooftop membiarkan semilir angin menusuk-nusuk kulitnya yang nampak pucat. Gadis itu terus memukul dadanya kuat berharap rasa sesak disana dapat hilang.
Perlahan gadis itu mendongak menatap lurus ke tepian rooftop, gadis itu pun bangkit dan berjalan mendekati tepian tersebut. Ia menatap ke bawah, menyaksikan lalu lalang kendaran serta orang-orang yang tengah beraktivitas jauh dibawah sana. Terlihat begitu bahagia, sesuatu yang membuat perut gadis itu terkocok hingga rasa-rasanya ia ingin muntah. Kebahagiaan, hanyalah sebuah gerbang menuju sebuah penderitaan tak berjung. Seperti yang tengah dirasakan oleh gadis itu.
Gadis itu megadahkan wajahnya menatap sendu ke arah langit yang nampak cerah, "Jika aku menyusulmu akan 'kah semuanya baik-baik saja? Bisakah aku bertemu denganmu dan menuntaskan semua rasa bersalah ini?" gumamnya
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are : Blackpink
FanfictionKisah ini bercerita tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan keempat gadis cantik untuk sebuah ikrar berharga bernama 'persahabatan'. Yang membangkitkan sebuah tembok kokoh yang melindungi mereka dari segala rasa sakit yang sungguh menyiksa. Karna ta...