Karena setiap insan memiliki sebuah luka tersembunyi dibalik tubuh tegarnya masing-masing. Karena setiap insan memiliki masalahnya masing-masing. Dan karena setiap insan memiliki keterputus asaan didalam hatinya masing-masing. Tetapi ada satu pertanyaan yang terus berputar di dalam benakku. Mau kah kau berbagi rasa sakitmu itu padaku, kawan?
¤¤¤
Sebuah mobil menghentikan lajunya didepan sebuah Sekolah yang cukup terkenal di Seoul. Keadaan di dalam mobil tersebut nampak sunyi meskipun sesak oleh beberapa orang yang menumpang di dalamnya. Suasana ini sangatlah canggung untuk sebuah keluarga yang biasanya selalu melempar canda tawa di pagi hari.
"Rosé-ya" ucap sebuah suara lembut yang berhasil memecahkan kesunyian di dalam mobil tersebut. Sementara seorang gadis yang merasa namanya dipanggil hanya berdehem malas.
"Kau yakin ingin sekolah nak?, ma-"
"Kita sudah membahas ini semalaman mah, bahkan tadi saat sarapan. Aku tidak apa-apa" ucap Rosé dan penuh penekanan di akhir kalimat.
"Rosé-ya, mamahmu hanya mengkhawatirkan kondisimu nak. Mengapa kau menjadi ketus seperti ini?, kau bahkan tak banyak berbicara hampir dua hari ini" ucap sang papah sambil menghadap kearah Rosé yang bahkan enggan memandang sang papah.
Sejujurnya Rosé masih merasa kesal dengan fakta yang selama ini ditutupi oleh kedua orangtuanya beserta Jimin. Ia merasa semua ini tak adil baginya, apakah kedua orangtuanya masih menganggapnya bocah ingusan yang tak bisa mengerti dan menerima kondisinya yang lemah ini. Mungkin awalnya ia memang tak terima, namun seiring dengan waktu ia pasti akan mengerti. Apa kedua orangtuanya tak dapat menaruh kepercayaan lebih pada Rosé?.
"Aku pamit, Lisa-ya ayo" ucap Rosé sambil membuka pintu mobil yang mampu membuat Lisa yang sedaritadi tertunduk langsung gelagapan akibat terkejut.
"Paman, Bibi, terimakasih atas tumpangannya. Kami permisi" ucap Lisa setengah membungkuk sebelum mengikuti langkah Rosé yang telah lumayan jauh.
"Jimin-ah, tolong jaga Rosé jangan biarkan ia kelelahan, kau tahu kan obatnya sudah tidak berfungsi lagi?" ucap Mamah Rosé menatap sendu kepergian putri semata wayangnya.
"Tenang saja Bibi akan aku jaga Rosé sampai titik darah penghabisanku. Aku pamit Bibi, paman hati-hati di jalan" ucap Jimin sebelum keluar dari mobil mengikuti langkah Rosé dan juga Lisa yang sudah tak nampak dihadapannya itu.
¤¤¤
"Rosé-ya!"
"Yak! Aku berbicara padamu!"
"Rosé-ya!" akhirnya teriakan demi teriakan itu terhenti kala seorang pria yang tak terlalu tinggi itu berhasil mengapai tangan mulus dari seorang gadis yang sedaritadi tak menyahuti teriakannya.
"Ada apa denganmu?, kenapa kau tadi berkata ketus pada Bibi?" tanya Jimin sambil menatap serius kearah bola mata saudaranya itu.
"Memangnya apa urusanmu hah!" teriak Rosé tiba-tiba yang tentu saja membuat Jimin dan Lisa sama-sama terkejut. Sekesal apapun Ros, gadis itu sama sekali tak pernah menaikkan oktaf suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are : Blackpink
FanfictionKisah ini bercerita tentang sebuah pengorbanan. Pengorbanan keempat gadis cantik untuk sebuah ikrar berharga bernama 'persahabatan'. Yang membangkitkan sebuah tembok kokoh yang melindungi mereka dari segala rasa sakit yang sungguh menyiksa. Karna ta...