'Duduklah sejenak, agar ku jelaskan padamu" ucap ku kala itu.
Kerutan di dahimu pertanda kau tak mencerna titah ku. "Duduklah sejenak" ulangku sembari menepuk kursi kayu panjang yang telah termakan usia.
Aku mengusap kerutan di dahimu pelan. Kau tersenyum, menular kepadaku. Ingin selalu ku lihat senyum itu menghiasi rupamu yang rupawan, selamanya. Jika bisa.
Namun, kita tak bisa. Aku tak bisa menggapaimu, bayangmu saja tidak.
"Aku akan pergi," kata ku.
Senyummu hilang seketika dan aku benci itu. Aku tak suka senyumnitu lenyap karna aku. Kau menggenggam tanganku erat, seakan dibeberapa persekian detik lagi, dunia akan menjemput ajalnya dan kau ketakutan akan itu. Organ imajiner bernama hati ini semakin meraung tertahan, bertanya "Kenapa aku yang selalu membuatmu menampilkan wajah itu?"
Maaf, aku tak bermaksud. Semesta tak mengizinkan. Kita berbeda. Kau dengannya, serasi dengan sangat. Aku tak ingin menghancurkan kebahagiaanmu, bersamanya.
Terima kasih telah mengisi relung hati ini, meski ku serahkan hati ini secara utuh, kau bersikeras tak mau mengembalikannya. Terpaksa, aku mengambilnya walau sudah tak berbentuk, rapuh dan tak bernyawa.
Kasih, tak perlu kau bertanya aku akan kemana. Karna di tempatku nanti, aku akan abadi. Tanpa sesak yang menghujani.
-persekiandetik
-Sintia-
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeruji Resonansi Hati
PoetrySebuah antologi dari beberapa pengarang resonansi hati. Menggelora, menggebu, melenakan, membutakan, meluluhkan. Bersiaplah menuju perasaan yang akan diaduk-aduk ke dalam jiwa-jiwa pelihat goresan diksi di dalam ini. Ya, kalian semua para pembaca. ...