Chapter One

15.7K 749 124
                                    

Cerita ini sudah pernah aku muat di fanfiction. Tapi aku pindah ke sini biar lebih mudah updatenya. Karena lappyku suka erorr jadi sulit mengupdate cerita kalau nggak ke rental. Sedangkan, aku malas ke rental. Jadi aku putusin untuk mindahin ke sini aja biar afdhol. Oke langsung aja. Chekidot!

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Semua chara milik MK, tapicerita ini milik saya.

Warning. Ada banyak kejutan dalam cerita ini. Yang punya jantung lemah, disarankan untuk tidak membacanya.



Jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan kering menuju kediaman Namikaze, tampak lengang. Obor-obor yang berjajar di sepanjang jalan menyala redup, sering kali bergoyang ke kanan dan ke kiri, meliuk-liuk mengikuti hembusan angin malam yang berhembus. Cahayanya yang redup menciptakan beragam bayang-bayang mengerikan, yang mampu membuat bulu roma orang yang lewat berdiri.

Naruto berjalan malas-malasan di sepanjang jalan, tak ambil pusing dengan segala macam bayangan horor yang tertangkap oleh indera penglihatannya. Kaki mungilnya melangkah dengan santai, tidak dipercepat bahkan cenderung diperlambat, meski hari sudah sangat larut, dan jam malam sudah lama lewat.

Ia sama sekali tak khawatir, bakal dimarahi orang tuanya setibanya di rumah. Tenang saja. Hal itu nggak mungkin terjadi padanya. Percayalah orang tuanya nggak bakal ngamuk, menjewer, dan membentaknya hanya gara-gara hal sepele ini. Ia bahkan yakin, orang tuanya tak akan ambil pusing, meski ia tak pulang ke rumah sekalipun.

Ia sudah menyadari hal ini, sejak ia bisa berjalan dengan kedua kaki mungilnya sendiri. Ia paham, orang tuanya tak perduli padanya, mengabaikannya, dan tak menganggapnya ada. Karena itulah, ia tak pernah dimarahi dan dibiarkan berbuat semaunya.

Ia pernah menanyakannya pada kakek Hokage ketiga, dulu sekali saat ia sudah bisa bicara dengan lancar, meski masih cadel, "Kakek! Kenapa cih, tou can dan ka can tidak cayang Nalu? Apa kalena Nalu nakal?"

Di luar dugaan, Hokage ketiga menjawab, "Karena ayahmu itu anti mainstream, Naru chan," sambil mengusap puncak kepalanya dengan sayang.

Di lain waktu, Hokage ketiga akan menjawab, "Karena ayahmu sangat sayang padamu, Naru chan. Makanya itu, ia melakukan sesuatu yang ekstrim."

Sungguh jawaban yang aneh dan sulit diterima nalar, terlebih seorang anak kecil. Akhirnya, Naruto kecil mendapat jawaban yang tepat dari para penduduk desa yang melihatnya dengan tatapan sinis, setiap kali ia lewat. "Karena kau itu aib bagi klan Namikaze," Balas mereka penuh rasa dengki.

Jawaban mereka memang menyakitkan dan membuat dada Naruto terasa sesak. Akan tetapi, itulah kebenarannya. Dia memang aib bagi klan Namikaze karena terlahir dengan cakra yang sedikit. Tak ubahnya seorang warga sipil. Padahal ayahnya seorang hokage dan ibunya dari klan Uzumaki. Pantas saja orang tuanya malu punya anak seperti Naruto.

Beda sekali dengan Menma, adiknya yang hanya berselisih 10 menit darinya. Menma di umurnya yang baru 5 tahun sudah berhasil membuat sebuah kawarimi dan bunshin, meski agak lemah. Menma memang luar biasa dan berpotensi besar jadi seorang shinobi yang hebat.

Karena itulah, Naruto tidak heran jika adiknya jauh lebih disayang dan diperhatikan oleh ayah dan ibu. Ia juga tak merasa aneh kalau hanya Menma seorang yang diajak pergi ayah dan ibunya dalam pertemuan dengan sesama keluarga ninja lainnya, sedangkan ia ditinggal di rumah. Semua itu, perlakuan tidak adil itu wajar, karena memang mereka terlahir dengan kemampuan yang berbeda.

Ah, tapi itu bukanlah masalah besar untuknya. Ia menerima takdirnya dengan ikhlas sebagai seorang anak shinobi yang lahir tanpa cakra. Ia tak perduli dengan cibiran para penduduk desa yang memandangnya rendah, ataupun cemoohan anak-anak seusianya.

NINJA NOT MAINSTREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang