Latihan

9.2K 557 48
                                    

"Bagaimana?" tanya Sarutobi tak sabaran, begitu Minato melongokkan kepalanya di ruang Hokage.

Sarutobi bahkan tak menunggu Minato benar-benar masuk ke dalam ruang kerjanya dan menutup pintu dengan pantas, atau minimal membiarkan Minato duduk terlebih dahulu di kursinya. Ia terlampau penasaran dengan hasilnya, hingga dengan tak berperi kemanusiaan langsung menodong Minato, begitu ia muncul dari balik pintu.

"Berhasil. Dia bahkan melebihi ekspektasiku selama ini," jawab Minato dengan wajah penuh antusias dan mata berbinar-binar. Ia memandang Sarutobi —mantan hokage sebelumnya yang meski sudah berumur, namun intuisinya masih tajam seperti kala beliau muda— penuh rasa hormat. "Terima kasih banyak. Anda sudah bersedia membimbing dia dan mendampinginya selama ini,"

"Tak masalah. Bagaimana pun ia masih anak-anak. Harus ada seseorang yang ada di sisinya, agar ia tidak terpuruk ke dalam kegelapan, mengingat seseorang yang harusnya mengayominya justru lebih memilih peran sebagai antagonis."

"Ha ha ha..." Minato tertawa canggung dan menggaruk-garuk kepalanya yang Sarutobi yakin tidak gatal karena ketombe apalagi kutu rambut.

Minato tersenyum muram dibalik sinar keruh safirnya. Ia mengepalkan jemari tangannya kuat-kuat, hingga buku-buku jarinya memutih, menahan gejolak emosi dan sesak dalam dadanya yang membuncah. Ia mengerti, sangat mengerti malah, sindiran tajam dari hokage sebelumnya ini.

Ia tahu ia salah. Tidak seharusnya ia mengabaikan Naruto. Tidak seharusnya ia bersikap kejam dan dingin pada anak kandungnya sendiri. Jujur, ia pun tak rela, dan tak ingin melakukan ini. Bukan hanya Naruto yang terluka, tapi... 'Aku juga,' batin Minato sambil memejamkan matanya.

Hati ayah mana sih yang tak terluka, jika mendengar isak tangis lirih putranya, ataupun melihat kesedihan yang terpantul dari iris safir putranya? Dan itu terjadi setiap hari. Semua ayah yang waras di dunia ini pasti merasakannya, termasuk Minato.

Entah sudah berapa kali, Minato menyuruh dirinya sendiri untuk berhenti melakukan rencana gila ini, mengabaikan Naruto dan bersikap dingin padanya? Minato sudah tak bisa menghitungnya lagi. Ada belasan, puluhan, atau ratusan kali mungkin, sejak rencana ini berjalan.

Dan jangan kira, hati Minato terbuat dari baja. Ia hanyalah manusia biasa. Hatinya pun sering kali goyah. Minato sering kali tergoda untuk meraih Naruto dalam pelukannya, dan melupakan segala rencana gila yang sedang bertengger di tempurung otaknya, begitu matanya menangkap kesedihan pada safir anaknya. Tapi, ia selalu saja tak bisa.

Minato tak bisa berhenti melanjutkan rencana gila ini. Bayangan Naruto menderita di masa depan, terseret dalam kekacauan dunia shinobi, dan terombang-ambing oleh kepentingan berbagai friksi yang bertikai-lah, yang membuat Minato mengeraskan hatinya dan menulikan telinganya. Ya, ia harus tega, demi kebaikan Naruto.

Jika bukan karena memikirkan masa depan Naruto nanti, tak sudi ia melakukan ini. Sungguh, sama sekali tak ada niatan untuk kepentingan pribadi Minato secuil pun untuk ini. Semua yang dilakukan Minato adalah untuk kebaikan putranya, Konoha, dan juga dunia shinobi. Harapannya, jika ini berhasil, maka sesuatu yang buruk di masa depan akan bisa dicegah.

Mata Minato menerawang jauh. Pikirannya melayang pada kenangan-kenangan di masa silam. Ia teringat akan perjuangan panjangnya. Selama berbulan-bulan, ia menenggelamkan diri dalam tumpukan berbagai literatur sejarah milik klan Uzumaki, Senju, dan Uchiha yang tersimpan rapi dalam perpustakaan Konoha.

Awalnya, ia hanya ingin tahu mengapa Kyuubi disegel di tubuh Kushiha. Namun, semuanya berubah setelah pria bertopeng misterius itu menyerang Konoha, menggunakan Kyuubi yang ia rampas dari Kushina 6 tahun yang lalu. Untunglah, Minato berhasil mencegah insiden buruk itu sehingga Konoha selamat dari amukan Kyuubi.

NINJA NOT MAINSTREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang