Chapter 10.

4.5K 810 34
                                    

"Kita mau kemana, Bun?"

Bima tidak tahan untuk bertanya. Sang Bunda terlihat terburu-buru. Wajahnya pun menunjukan raut antara panik dan ingin menangis. Bima menjadi penasaran.

"Kita mau ke rumah Bima." Kali ini Sang Bunda menjawab dan Bima mengangguk paham. Hal yang tidak ia mengerti adalah kenapa Sang Bunda harus terburu-buru seperti ini. Terakhir kali mereka mengunjungi rumah Bima, Bunda tidak dalam keadaan seperti ini.

Bima sudah mencoba bertanya tentang apa yang tengah terjadi tapi Bunda hanya menggeleng dan ia hanya bisa terpaku saat airmata lolos dari kedua mata cantik milik Bundanya tersebut. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Bunda sampai menangis?

Semua pertanyaan Bima tidak kunjung terjawab. Bunda hanya menangis dengan isakan lirih di belakang kemudi sepanjang jalan dan ia tidak tahu harus melakukan apa. Melihat Bundanya dengan keadaan seperti ini membuatnya merasa khawatir dan takut.

Ketika Bima berniat untuk mencoba bertanya kembali, mobil mereka berhenti tepat di depan sebuah rumah. Rumah bocah yang mempunyai nama persis sepertinya. Bima melongok ke luar jendela mobilnya. Dahinya mengernyit saat mendapati bahwa rumah tersebut sedang ramai oleh orang-orang.

Bima turun dari mobil saat Bunda menyuruhnya. Sang Bunda terlihat menghapus airmatanya sebelum sedikit menundukan badan kepadanya dan memegang kedua bahunya.

"Bima, nanti begitu masuk langsung cari Bima aja ya. Bunda mau ketemu sama Ayahnya Bima di dalem." Sang Bunda berkata dengan nada yang lembut seperti biasa, tapi terasa seperti penuh akan ketakutan. "Pokoknya temenin Bima. Jangan kemana-mana. Bunda mohon sama kamu." Lanjut Sang Bunda. Bima hanya bisa mengangguk walau rasa bingung dan tidak mengerti menyergapnya. Tapi jika itu bisa membantu Bunda, ia akan melakukan apapun. Lalu ia mengikuti langkah Sang Bunda yang terkesan tergesa-gesa dari belakang.

Ketika mereka masuk ke dalam rumah tersebut, Bima mendapati beberapa orang. Lalu ketika Bunda mengangguk padanya, ia pun ikut mengangguk. Itu pertanda bahwa Bundanya mengizinkan ia untuk pergi. Bima tahu sekali kemana langkahnya pergi. Ia tidak hanya sekali dua kali mengunjungi rumah itu.

Pintu berwarna putih itu terbuka. Bima melangkah dengan perlahan. Lalu kepalanya melongok ke dalam. Sesuai dugaannya, Bima kecil ada di sana; tengah duduk di atas tempat tidur yang terlampau besar baginya.

Bima berdeham; menuai atensi Bima kecil. Ekspresi murung yang sebelumnya Bima kecil tampilkan, hilang seketika saat tatapannya jatuh padanya.

"Kak Bima."

Suara itu masih sama seperti biasa. Biasanya Bima akan merasa terganggu atas hal itu, tapi untuk sekarang ia akan membiarkannya saja. Apalagi saat Bima kecil berlari kepadanya dan memeluk pinggangnya dengan tangan-tangan mungil itu.

"Bima nggak boleh tulun cama Ayah. Bima bocen di cini." Ocehan dengan suara cempreng dan cadel itu memenuhi pendengaran Bima. Ia hanya mendengus. "Di bawah banyak tamu. Mungkin karena itu jadi kamu nggak boleh turun." Jawabnya. Berusaha melepas pelukan Bima dan menuntun bocah itu masuk kembali ke kamar.

"Tapi Bima kan pengen ketemu Ibu."

Bima menghela nafas. Ia mendudukan anak itu kembali ke atas tempat tidur. Ia sendiri duduk di samping anak kecil tersebut. "Bima kan bisa ketemu Ibu kapan aja. Mungkin Ibu lagi sibuk karena banyak tamu."

Ketika Bima merasa bahwa dirinya sok tahu karena terus-terusan mempunyai jawaban atas ocehan Bima kecil, bocah itu menggelengkan kepalanya. Hal itu membuatnya bingung.

"Ibu nggak cibuk. Ibu tidul. Tadi Bima bangunin tapi nggak bangun-bangun." Jeda sebentar. "Teluc Ayah nyuluh Bima buat macuk ke kamal." Celoteh Bima kecil membuatnya merasa semakin bingung. Bagaimana bisa Ibunya Bima tidur saat sedang banyak tamu seperti ini? Ah, mungkin Ibunya Bima sedang sakit. Bima mengiyakan pemikirannya sendiri.

When Love Comes Around [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang