part 11

875 11 0
                                        

Salatiga 2

(Azel)

Azel tiba dibandara soeta jam 3 sore.  Dengan memakai kacamata hitam dan baju rapi banyak wanita yang meliriknya. Dia berencana lansung pulang menggunakan bus, dia rindu suasana perjalanan jauh dari Jakarta ke Salatiga. Untung dia hanya membawa tas ransel, oleh-oleh untuk keluarganya telah ia paketkan beberapa hari lalu. Dia bersabar untuk sampai kerumah, menikmati setiap perjalanan, 7 jam kemudian dia sampai di kota kecil yang indah ini. Dimas terlihat sudah besar saat menjemputnya di terminal.

Sampai di rumah mama dan papanya menyambut hangat, menumpahkan segala kerinduan. Karena tidak sempat menjenguk kesana. Dia mempunyai banyak rencana yang sudah di konsepnya waktu di Australia, dan menemui dia salah satunya.

“Pagi ma, pa”. kataku saat menuruni anak tangga dan mendapati seluruh keluargaku di meja makan.

“siang  sayang..””. kata mama.

Mama mengatkat alisnya dan memperhatikan aku dari atas ke bawah, “ rapi bener. Mau kemana ”. Tanya mama heran. “ nggak capek apa, kok mau pergi”.

Aku duduk sebelah Dimas, “ mau nganter Dimas sekolah” kataku asal.

Dimas yang kujadikan tumbal melirik kearahku, “ nganter? Ini kan hari Minngu? Lagian ini udah makan siang bukan makan pagi”. Kata Dimas, aku hanya diam, oh siang to, batinku lalu memakan sarapanku dengan hati senang. Senyum tak lepas dari bibirku. Dimas memandang merasa aneh dengan sikapku. Mama dan papa hanya tersenyum melihat kelakuanku.

….

Aku masih ingat betul jalan menuju rumahnya, tidak banyak perubahan. Sekarang lebih halus jalanya, banyak perumahan yang dibangun ditanah yang dulu kosong.

Sebelum turun dari mobil aku mengambil nafas menghilangkan kegugupan, lama sekali menghembuskanya. Karena aku mengisi udara ke paru-paru agar lebih banyak cadangan oksigen, kenapa bisa segugup ini perasaanku.

Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Pintu dibuka oleh seorang gadis yang aku yakin bukan  Nesha karena dia memakai epron dan membawa spatula, dia bilang Nesha sedang pergi, tapi tidak tahu kemana perginya. Lagi-lagi aku hanya menelan kekecewaan, ternyata dia sedang tak dirumah.

Dia kemana? Hanya itu pertanyaan yang sedang aku pikirkan. Mana aku tidak tahu kontaknya, dari pada pulang dan tidak mau ngapain, aku membelokka arah mobilku kerumah om Danar.

Rumah om Danar sepi, tak terlihat Nabila yang jam seperti ini pasti di depan rumah main basket dengan ayahnya. Terlihat mbak Nah yang sedang menyapu halaman rumah terhenti karena kedatanganku. Aku turun dari mobil dan menghampirinya.

“ealaaahhh mas Ello. Kapan pulang dari ostrali? Katanya setelah tadi terdiam penasaran.

“ kemarin mbak. Om tante ada?”

“ ada baru aja pulang dari Palembang”.

“ oh ya sudah, saya masuk dulu mbak”.

“ iya mas”. Kata mbak nah,

Aku masuk rumah tanpa mengucapkan salam, memberi sedikit kejutan buat adik mama ku ini.

“ Halo semua…” teriakku saat aku mendapati om dan Nabila duduk di ruang kelurga.

“ mas ello…”. Nabilla berteriak dan berlari kearahku, aku mengacak rambutnya dan mencubit kedua pipinya yang tembem ini. “ ih apa-apaan sih.. tiba-tiba dah nyiksa”. Dia mendelik kearahku, lalu mengikutiku berjalan kearah papanya.

“ terimakasih oleh-olehnya lo. Udah dianter Dimas kemarin, gimana sehat? Mbakmu dan yusuf sehat juga kan”.

“ iya, Alhamdulillah sehat om. Tante dimana?” aku celingukan mencari sesosok wanita yang kusebut dengan tante itu.

“ di dapur sama mahasiswinya”. Kata om Danar.

“ iya,, guru les Nabila” kata nabila menambah jawaban ayahnya. Tiba-tiba dia menjetikkan jarinya. “ ahaaaa…. Dia cantik lo kak,, mau nggak aku kenalin”. Katanya antusias.

“ ah kamu ini anak kecil ganggu kakaknya”. Aku hanya terbahak mendengar ucapan Nabila.

Tiba-tiba om Danar menerima telepon dari seseorang, setelah itu ia ke kamar dan pergi setelah pamit dengan istrinya di dapur.

“ heh,,, kamu datang kok nggak nyapa tante di belakang, udah lama” tante tiba di ruang kelurga membawa brownies yang terlihat masih hangat.

“ ini kue, tante minta di ajarin sama mahasiswi tante. Mau tante kenalin, bentar tante panggil dulu”. Sebelum aku menjawab tante sudah melesat lagi kedapur. Nabila tersenyum jahil dan menggodaku. Anak ibuk sama saja. ckckckc

…..

(Nesha)

Aku kaget dan gugup mengetahui siapa yang ada didepanku. Bukankah itu Azel? “ ini lo zel yang ngajarin tante bikin kue..” kata bu Zahra padanya.

Azel yang sedang berbicara dengan Nabila menatap kearahku. Ada rasa terkejut diwajahnya. Sama denganku.

“Nesha…” katanya pelan.

Aku menelan ludah saat dia memanggil namaku, masih sama seperti dulu. Azel terlihat lebih dewasa, lebih tinggi,dengan tubuh yang sedikit berisi daripada dulu namun masih terlihat proposional dengan tingginya.

“ Mas Azel..”. jawabku. Nabila dan bu Zahra memandang kami bergantian, “ kalian sudah kenal?” Tanya bu Zahra.

Azel menatap tantenya, namun tidak segugup tadi dia menjawab,” teman tan..”. lalu beralih lagi menatapku, aku menunduk tidak tahu kenapa tiba-tiba aku gugup. Aku tidak pernah merasakan seperti ini sebelumnya saat berhadapan dengan orang lain juga Azel dulu, tapi dengan azel yang sekarang... aku tidak dapat mendiskripsikan getaran dari dalam dadaku ini. Rasanya sesak.

“ ayo bil, temenin mama. Biar mas mu berbincang dengan mbak Nesha”. Tanpa banyak bicara Nabila mengikuti ibunya.

Azel menyuruh aku duduk. Aku duduk di hadapanya. Dia memandangku, setelah beberapa saat.

“ apa kabar?” kami bertanya bersamaan. Lalu kami tersenyum.

Lalu aku yang duluan menjawab”Alhamdulillah baik,, kamu”.

“aku juga baik”. Jawabnya.

Kami terdiam lagi, aku bingung untuk memulai perbincangan. Dia mengusap tengkuknya, dia juga terlihat bingung.

“ kau terlihat berbeda”. Dia tersenyum, melihat senyumnya aku memalingkan wajah, takut hati ini nggak kuat.

“ berbeda? Aku masih sama seperti dulu”. Kataku pelan.

“ benarkah? Perasaanmu terhadapku juga sama seperti dulu?”. Dia menatap ku lebih lama, merasa terintimidasi, aku memalingkan lagi wajahku, melihat lampu Kristal tepat di tengah ruang keluarga, dan beberapa pajangan indah di almari bu Zahra ini, aku menatap Azel lagi yang masih memandangku, sorot matanya mencari jawaban.

Aku tidak tahu harus menjawab apa, aku takut istiqomahku menjaga agar aku menjadi lebih baik, dan tidak mencintai seseorang secara berlebihan akan runtuh dengan tatapan Azel.

“ ya” jawabku ragu.

Aku mendengar azel mendengus kecewa. Kecewa? Benarkah dugaanku ini? Bukankah kita sudah lama tidak bertemu, harusnya perasaan terhadapku sirna.

Aku mendengar hembusan nafasnya yang keras, seperti mencoba menghilangkan beban yang disimpan terlalu lama. Lalu dia tertawa,pelan, namun karena aku didepanya aku bisa mendengar dengan jelas.

TBC

cinta yang tertundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang