7. Azka Prasetya

3.7K 280 3
                                    


Azka memarkirkan motornya di parkiran Sekolah, ia menuruni motornya lalu sedikit merapikan poni cetarnya yang berantakan akibat helm full face yang ia pakai.

Setelah memastikan bahwa penampilannya keren, Azka mulai mengambil langkah menuju kelasnya.

Azka agak was-was saat dirinya melewati ruang BK yang pintunya senantiasa terbuka lebar menyambut siapa saja yang melanggar aturan.

"Semoga Pak Amin gak ada." Azka bergumam seraya melangkah kecil melewati ruang BK. Tapi, sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak kepadanya. Karena baru selangkah ia berhasil melewati ruangan itu, suara Pak Amin, yang namanya mirip tukang warung tempat Azka dan teman-temannya kumpul terdengar.

"Azka Prasetya, sepertinya kamu salah melangkah. Harusnya belok kesini." Azka memutar badannya, Pak Amin terlihat berdiri di ambang pintu seraya melipat tangannya di dada, kumisnya yang membahana itu bergerak-gerak seolah akan lompat dari tempatnya, Azka bergidik ngeri melihat kumis Pak Amin yang menurutnya mirip dengan Ulat Bulu.

"Ngapain gidik-gidik gitu? Cepat. Masuk." Setelah mengucapkan kalimat itu Pak Amin masuk ke ruangannya.

Azka menghembuskan nafas sehingga poninya ikut terbang akan hal itu, ia masuk ke ruang BK lalu duduk di kursi yang tersedia, dihadapannya Pak Amin duduk dengan mata yang menatap Azka tajam, seolah-olah Azka akan musnah dari bumi ini oleh pandangan itu.

"Duduk."

"Udah, Pak."

"Jelaskan, kemana saja kamu selama sebulan belakangan ini?" Pak Amin bertanya dengan tangan yang tersilang di meja.

"Ceritanya panjang Pak, mungkin bapak ingin ditemani oleh segelas kopi atau mungkin, popcorn gitu?" Azka nyengir melihat kumis Pak Amin yang naik-turun.

Pak Amin menghembuskan nafasnya kasar, "Azka. Saya sedang tidak ingin bercanda, jadi saya harap kamu juga demikian." Ujar Pak Amin mencoba bertahan melihat sikap slengean Azka.

"Emang, yang ngajakin bapak becanda siapa? Gak ada."

Pak Amin geleng kepala, "Cepat ceritakan! Kalo bisa saya sudah drop out kamu dari sini, kalo gak inget kamu udah kelas 12." Ujar Pak Amin disertai decakannya.

"Jadi gini pak, penyebab saya tidak masuk selama sebulan belakangan ini adalah, saya pergi ke Bandung pak. Kebetulan, eh bukan kebetulan kali yah. Tapi takdir, nah karena takdir nenek saya sakit pak. Maka dari itu, saya sebagai cucu yang baik jagain nenek saya dong? Dikarenakan juga, Mama Papa saya ga bisa merawat nenek saya, karena bapak taukan mereka sibuk? Nah, mau ga mau, suka ga suka. Saya deh yang menjaga dan mengurus nenek saya." Azka menghembuskan nafasnya setelah bicara panjang lebar yang entah dimengerti oleh Pak Amin atau tidak.

"Memangnya, nenek kamu sakit apa sampai sebulan, gitu?" Pak Amin bertanya.

"Masuk angin, pak."

"Masa masuk angin sampai sebulan sih? Gimana kamu ini?" Pak Amin menunjuk Azka tepat di hidungnya yang tertempel plester.

"Masuk anginnya bukan masuk angin biasa pak, tapi luar biasa."

"Alah, alasan kamu. Pokoknya kamu harus dihukum, besok orang tua kamu harus ke Sekolah. Ga ada penolakan."

"Orang tua saya sedang tidak berada di tempat pak."

"Yasudah kakak kamu atau siapa gitu kerabat kamu."

Azka berdecak, "Masa bapak ga tau sih, kan saya anak tunggal mana punya kakak, kerabat juga ga ada yang di Indonesia, pak."

"Pokoknya, siapa saja deh yang berada di rumah kamu, cukup. Saya pusing, silahkan keluar." Ujar Pak Amin.

Azka melenggang keluar dari ruang BK dengan mulut yang yang maju seperti bebek.

****

Azka masuk ke dalam kelasnya, disana sudah ada Pak Hadi yang berdiri di depan papan tulis. Dengan wajah tanpa dosanya, Azka melangkah melewati pintu. Saat bersitatap dengan Pak Hadi Azka nyengir sambil menggaruk tengkuknya.

"Azka, darimana kamu? Jam segini baru masuk ke kelas, kamu telatkan?"

"Tadi, saya dipanggil dulu sama Pak Amin, pak. Disuruh beliin ketoprak di gang depan sekolah."

"Yasudah, kamu duduk. Dan dengarkan penjelasan saya, awas kalo kamu ketahuan tidur." Ancam Pak Hadi yang seolah tau kebiasaan Azka yang sering tidur disaat Mapel berlangsung.

"Siap, pak." Azka memberi hormat pada Pak Hadi, lalu pergi ke kursinya di samping Juna. Karena di sampingnya Bobi sudah ada Haykal disana.

"Woy, Az. Emang bener lo disuruh beli ketoprak sama Pak Amin?" Juna bertanya dengan berbisik pada Azka yang sedang meletakan tasnya.

"Ya enggaklah, bego." Setelah itu, Azka mulai fokus mendengarkan apa yang Pak Hadi jelaskan, rupanya yang Pak Hadi jelaskan, sama dengan apa yang semalam Halimah ajarkan, jadi pada saat Azka ditanya ia bisa menjawab dengan benar.

Junapun sempat geleng kepala tak percaya saat Azka bisa menjawab pertanyaan Pak Hadi, hanya satu yang terbesit di kepala Juna saat ini, kok Azka bisa menjawab?

"Kita latihan dulu halaman 92 pilihan gandanya saja, dijawab di kertas selembar, kalo sudah kumpulkan di Lily." Setelah itu Pak Hadi keluar dari kelas, Lily adalah ketua kelas kelasnya Azka, ia perempuan yang tegas dan berpendirian. Maka, tak heran ia ditunjuk oleh Bu Annisa-wali kelas mereka untuk menjadi ketua kelas.

Azka membaca soalnya, ia sempat mengernyit. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum karena tau apa jawabannya. Jadi, seperti ini rasanya orang yang tau jawaban, hm menyenangkan juga. Batin Azka pongah.

"Kalo yang udah, langsung ke guein aja." Ujar Lily yang mendapat anggukan dari semua yang ada di kelas termasuk Azka.

Selang beberapa puluh menit sudah banyak yang mengumpulkan hasil kerjanya kepada Lily. Begitupun Azka, saat dirinya hendak bangkit ke mejanya Lily tiba-tiba seragamnya ada yang menarik. Azka meniup poninya sesaat setelah melihat bahwa yang menarik seragamnya adalah, Juna.

"Please. Jangan karena lo mendadak pinter, lo lupa sama temen seperjuangan lo." Ujar Juna, Azka sedikit tersinggung mendengar penuturan Juna, tapi mau diapakan lagi, selama ini ia memang bolot kalau sudah menyangkut tentang pelajaran. Azka menyerahkan lembar kertas jawabannya pada Juna yang langsung disambut antusias olehnya.

"Lo emang sohib gue."

****

Azka menatap malas pada kertas yang ada di genggamannya, surat panggilan orang tua. Azka melonggarkan dasi yang memang sudah longgar di lehernya, lalu berteriak memanggil Bu Nur, yah. Kalau Azka ada panggilan ia selalu menyuruh Bu Nur untuk menjadi walinya ke sekolah. Orang tuanya? Mungkin sudah angkat tangan dan tak mau perduli lagi padanya, lagian Azka juga tak mempermasalahkan hal itu.

"Bu Nur!"

"Bu Nur nya ga ada, tadi juga ga kesini. Sepertinya anaknya Bu Nur masih sakit." Azka menyembunyikan apa yang ada di genggamannya saat Halimah muncul dari arah dapur.

"Oh, okay." Setelah mengucapkan kalimat itu Azka melenggang naik ke kamarnya, Halimah geleng kepala melihat tingkah Azka.

BERSAMBUNG

Don't forget to vomment guys!

[1] Halimah, I Love You [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang