21. Keberangkatan Azka

2.6K 217 6
                                    


"Kalo alasan sebenernya lo masuk kedokteran?" Tanya Hendi lagi, Umar dan Juna pun siap mendengarkan, karena keputusan Azka yang aneh, menurut mereka, dengan tiba-tiba mengambil jurusan kedokteran.

"Gue kan udah bilang, itu keinginan hati." Jawab Azka.

"Terus, lo mau jadi dokter apa? Dokter bedah? Dokter anak? Atau mungkin... Dokter kandungan?" Tanya Juna.

"Kalo masalah itu belum tau, belum kepikiran juga."

Hendi hanya mengangguk, sementara Umar dan Juna mengernyit bingung, rupanya masih belum mengerti dengan keadaan, "Udah deh. Lanjut maen apa udahan nih? Lagian ini game apa ajang untuk menginterogasi gue? Nah lo pada juga pasti bakal kuliah kan? Coba gue pengen tau jurusan apa yang lo pada ambil?" Ujar Azka.

"Gue otomotif, dong!" Ujar Umar pongah yang mendapat delikan dari Juna.

"Gue belum tau, gimana entarnya aja deh."

"Gue juga gak tau, hehe.." ujar Juna dengan cengiran di akhir kalimatnya.

Azka menghembuskan nafasnya, lalu kepalanya ia sandarkan di pinggiran ranjangnya, "Gue gak nyangka, bakal ngerasain suka citanya kelulusan, kalo rasanya seseneng ini dari dua tahun yang lalu gue pasti lulus." Ujarnya seraya memandang langit-langit kamarnya, ingatannya berputar kembali pada saat dulu, yang seharusnya ia melaksanakan Ujian Nasional, ia malah pergi travelling bersama teman-teman komunitas motornya.

"Udah takdir, Az, takdir lo emang lulus di angkatan yang sekarang." Ujar Juna mengikuti Azka menyandarkan kepalanya di pinggir ranjang, cowok itu duduk di samping Azka.

Melihat Azka dan Juna yang melakukan kegiatan demikian--menyandarkan kepala ke pinggir ranjang--Hendi dan Umar pun tergugah untuk melakukan hal yang sama.

Kini, keempat cowok yang beranjak dewasa itu berjejer seolah menikmati setiap moment yang tercipta sekarang.

"Kalo lo pada udah sukses, jangan lupain gue, oke?" Ujar Umar dengan mata yang terpejam.

"Hm, gue pasti inget, karena lo punya utang buat service hape sama gue, dan belum dibayar." Ujar Juna dengan intonasi yang menyebalkan, menurut Umar.

Lantas, Umar menjitak kepala Juna yang kebetulan ada di sebelahnya, lalu berdecak cukup keras, "Ngacauin suasana banget sih lo." Umar mengerucutkan bibirnya kesal atas penuturan Juna.

"Dih? Denger yah Mar, dulu waktu gue ngaji, kata Pak Ustadz, utang itu dibawa sampe mati. Gue sih baik hati dengan ngingetin lo, supaya mati lo gak bawa utang." Jelas Juna yang tak diindahkan Umar.

Umar malas membalas penuturan Juna untuk itu ia memilih mengalihkan pembicaraan dengan, "Suatu saat nanti, gue pengen liat kita semua, I mean, squad kita, bisa ketemu lagi dengan keadaan yang udah mapan ples sukses." Katanya tulus dari hati.

"Cielah.. berat banget bahasa lo, Mar."

●●●

Halimah tengah membantu uminya di dapur, tidak, ia tidak memasak, memasak di rumahnya memang tanggung jawab uminya, sedangkan dirinya dan Afifah hanya membantu mencuci peralatan sehabis makan dan sesudah makannya saja.

"Nak, gimana Jakarta?" Tanya Umi Halimah yang saat ini tengah sibuk menata makanan yang sudah dimasaknya di atas meja makan.

"Mmm.. macet?" Ujar Halimah yang sedang fokus dengan cuciannya.

"Maksud umi, orang-orangnya gimana? Karakter mereka, yah seperti itulah." Jelas Umi Halimah.

"Beragam, mi."

[1] Halimah, I Love You [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang