20. Hakikat Manusia

2.7K 219 7
                                    


Halimah memandang kertas yang terdapat tulisan tangan seorang Azka Prasetya di dalamnya, ia terkekeh membacanya. Ada ada saja Azka itu, namun, dirinya tidak menampik bahwa ia senang mendapat surat tersebut.

Ia memasukkan kembali kertas itu kedalam amplopnya, lalu ia simpan ke dalam laci yang terdapat di kamarnya, "Rencana manusia memang indah, Azka, tapi, Tuhanlah yang menentukan semuanya. Terima kasih telah menaruh perasaan padaku yang bukan apa-apa ini." ujar Halimah lalu beranjak dari duduknya.

Halimah menggelar sajadahnya, ia melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim, memakai mukena putih yang selalu menemaninya saat menghadap sang khalik, mukena hadiah dari Uwa-nya yang baru berpulang dari tanah suci sekitar 4 bulan yang lalu.

4 rakaat sudah ia dirikan, kini raganya tengah terduduk menghadap sang pencipta-nya, menumpahkan semua keluh kesahnya, "Allohummaghfirlii waaliwaalidayya warhamhumma kamma rabbayani shagiraa, Ya Alloh terima kasih hambamu ini ucapkan atas segala nikmat yang selama ini engkau curahkan, tapi, hamba masih serakah dengan ingin meminta lebih, Ya Alloh." air mata Halimah mengalir membasahi telapak tangannya, "Hamba ingin memilikinya Ya Alloh, terdengar egois mungkin, tapi hati hamba telah menetapkannya Ya Alloh, semoga perasaan ini tidak berdampak buruk bagi hamba ataupun orang-orang di sekitar hamba." Halimah mengusapkan telapak tangannya ke wajahnya menyudahi curahan hatinya kepada sang maha kuasa.

Halimah melipat mukenanya, namun, tiba-tiba ia memegang lambungnya yang terasa perih, iya, Halimah mempunyai riwayat penyakit Maag, namun, saat ia memeriksanya pada dokter sebulan yang lalu, dokter bilang Maag yang dideritanya tidak parah, namun ada sebuah kenyataan yang menampar Halimah, bukan, dia bukan mengidap Tremor Esensial, tapi, penyakit yang dideritanya adalah 'Tumor Otak', dan kertas hasil uji laboratorium yang ditemukan Key, hanyalah dugaan sementara.

Gadis itu duduk di tepi ranjangnya, tidak, Halimah bukan gadis yang lemah, Halimah percaya setiap penyakit ada obatnya, dan Halimah sangat amat percaya atas kekuasaan sang Ilahi, bila ia ditakdirkan sembuh, maka itulah takdirnya.

Ketukan terdengar di pintu kamarnya, Halimah memasang wajah senormal mungkin saat mengetahui yang mengetuk adalah adiknya, Afifah.

"Mbak, aku masuk yah?" Ujar Afifah di balik pintu kamar Halimah.

"Masuk aja, Fah. Gak di kunci." Mendengar seruan Halimah, Afifah langsung menyeruak masuk ke dalam kamar 'Mbak Tersayang-nya' itu.

"Mbaaaak..." Afifah langsung menghambur ke pelukan Halimah setelah sesaat ia menutup pintu kamar Halimah.

"Kenapa, hm?" Tanya Halimah lembut sambil mengusap kepala Afifah yang berada di pangkuannya.

"Hafid, mbak!" Ujar Afifah teredam karena ia mengeratkan pelukannya kepada sang kakak.

"Ya ampun, Fah. Kenapa lagi, hm? Denger, Fah. Kamu masih sangat muda perjalanan kamu masih panjang, jangan jadiin perasaanmu itu sebagai boomerang, ke diri kamu sendiri." Halimah membangunkan Afifah lalu memegang bahunya, "Yang harus kamu pikirin sekarang, hidup kamu kedepannya, mulai sekarang kamu harus udah nata kehidupan kamu, nanti Fifah mau jadi apa? Dan yang pasti kamu maukan banggain umi sama abi? Kalo memang dia jodohmu, dia gak bakal kemana. Alloh tau yang terbaik untuk hambanya." Lanjutnya, Hafid adalah cowok yang disukai adiknya, Halimah tak menyalahkan Afifah karena jatuh cinta itu manusiawi, ia pun tengah merasakannya sekarang.

Namun, jauh dari itu semua, ia dan Afifah masih tergolong muda, perjalan mereka--jika diberi umur panjang--masih sangat panjang, mereka bahkan belum merasakan kerasnya kehidupan dunia, mereka masih harus memenuhi hak dan kewajibannya sebagai seorang anak dan pelajar tentu saja. Biarlah, masalah hati menjadi rahasia mereka dan masalah bagaimana kedepannya biarlah menjadi rahasia Ilahi.

[1] Halimah, I Love You [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang