8. Surat Panggilan

3.6K 293 3
                                    


     Azka tengah mencak-mencak di kamarnya, ia bingung tentu saja. Bu Nur ga ada lalu yang harus pergi ke Sekolah siapa? Masa iya Azka harus bayar orang? Ga etis banget dong, orang asing tau belangnya.

     "Ah bodo, pusing gue." Ujar Azka melempar kertas yang di tangannya ke ranjang, lalu ia mengambil kaos putih bergambar captain america di lemarinya, tanpa mengganti celana abu-abunya ia melenggang dari kamarnya, ia berniat akan ke warung Pak Amin pasti yang lainnya juga ada disana. Dan sepertinya ia akan meminta pendapat pada teman-temannya semoga saja ada yang membantu.

     Azka memakai jaket yang di belakangnya terdapat lambang Alan Walker. Jaket yang diberi entah siapa Azka tak ingat, tapi bukan ia yang membeli jaket itu.

     Azka keluar dari kamar dengan pandangan tertuju pada Hapenya ia tak sadar di bawah tangga Halimah sedang tergesa entah karena apa. Untung Halimah sudah mengantisipasi agar tidak terjadi tabrakan, tidak lucu bukan bila pantatnya menyentuh lantai.

     Dalam jarak yang tak kurang dari satu jengkal Azka dapat menghirup wangi gadis di depannya ini, wangi minyak telon sama cologne. Azka menghirup aroma itu dalam-dalam, ia tak tahu kenapa menghirup aroma Halimah bisa membuatnya nyaman. Apa karena wangi ini wangi bayi yah? Entahlah.

     Halimah mundur selangkah untuk memberi jarak, "Mau kemana?" Halimah bertanya pada Azka yang malah salfok pada wangi cologne yang ia hirup barusan.

     Azka menggeleng pelan, "Please lo bukan ketua RT, dimana gue harus lapor satu kali dua puluh empat jam, yah." Azka melangkah ke kiri untuk berlalu, tapi sedetik kemudian ia kembali balik badan. "Oh iya, tolong dong. Kamar gue lo beresin, karena seperti apa yang lo bilang tadi bukannya bu Nur ga ada yah? Gue pergi." Ujar Azka seraya menuruni tangga.

     Halimah menggeleng pelan lalu mulai melangkah ke kamarnya, ia tadi terburu-buru karena lupa akan satu hal, ponselnya. Bukan untuk apa-apa tapi ia harus memberi kabar pada seseorang di Pesantren sana hari-harinya, tapi tadi ia lupa. Maka dari itu ia tergesa, Astaghfirullah. Padahal sesuatu yang tergesa itu tidak baik.

****

     Azka memarkirkan motornya di depan warung Pak Amin, benar dugaannya teman-temannya sudah ada disini, tapi sejauh ini Azka tak melihat adanya Juna, mungkin di rumahnya.

     "Hey, Azka." Umar menyambut Azka dengan ber-high five ria. Azka berjalan kearah Loli anaknya Pak Amin yang masih duduk di bangku SMP.

     "Lol, kopi kayak biasa yah?" Ujar Azka yang dibalas anggukan oleh Loli.

     "Juna ga kesini?" Azka bertanya seraya mengambil duduk disebelah Jaya yang tengah sibuk bermain game di Ponselnya.

     "Pulang dulu katanya." Si kembar menjawab, Azka selalu memanggil mereka si kembar karena tidak tahu mana Wildan mana Zildan.

     Azka mengangguk, terdengar deru motor matic dari arah depan mereka—Umar, Jaya, Idom, Hendi, Zildan dan Wildan menengok ke sumber suara, disana. Ada Ucup yang tengah berjalan kearah mereka.

     "Wah, kalian pada ngumpul ga ngajak aing yah?" Ujar Ucup setelah dekat dengan warung, oh iya. Si Ucup ini blasteran loh jangan salah, blasteran sunda-betawi maksudnya.

     "Bodo amat Cup, bodo." Ujar Hendi yang baru bersuara karena sedari tadi ia hanya duduk ganteng saja.

     Loli tersenyum disaat Azka mengucapkan terima kasih, saat setelah menghidangkan kopi pesanannya, Azka menyeruputnya pelan seolah menikmati setiap tetes kopinya, "Gue lagi bingung nih." Setelah mengucapkan kalimat itu, seluruh perhatian semua orang langsung tertumpu pada Azka.

[1] Halimah, I Love You [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang