Dua bulan kemudian.
Akhirnyaaa selesai juga uas yang udah lama ditunggu-tunggu itu, dan tinggal tunggu hasil nya. Semoga hasil uas ku memuaskan dan buat senang ayah dan ibu. Oh iyaa, ayah sudah berada lagi di German. Dan aku lupa bilang kalau, ayah ditugaskan lagi ke German karena ayah Leo tidak bisa kerja disana lagi. Ayah Leo ada urusan dadakan yang mengharuskan dia untuk balik ke Indonesia. Sebenarnya kemaren itu ayah bertukaran kerja dengan ayah Leo makanya ayah bisa balik ke Indonesia. Dan sekarang malah bertukaran lagi, sedih. Jadi, karena libur uas sudah dimulai itu tandanya sudah dekat hari kami akan pergi ke Singapore. Dan tak lupa, Indie ikut juga bersama kami!
"Kei, ibu mau ada yang di omongin," ucap ibu sambil menutup pintu kamarku.
"Ada apa bu?" jawabku dengan muka riang mengingat sebentar lagi akan pergi berlibur.
"Gini..." ibu berhenti sejenak, dan aku mulai ngerasa ada yang nggak beres.
".. ibu tau kamu udah ngerencanain ini lama. Tapi, kita pergi ke German ya buat jengukin ayah kamu. Ibu dapet kabar katanya kondisi ayah drop disana.."
"Bu... serius? Aku bener-bener pengen pergi ke Singapore sama temen-temen..." dan aku mulai bersikap egois pada saat ini.
"Kei, kamu nggak bisa pergi sama teman-teman kamu. Ibu ngerti, tapi kondisi ayah kamu buat ibu kuatir."
Dan aku mengangguk menjawab ibu, aku memendung air mata. Aku memikirkan ke egoisan ku sekarang. Bagaimana bisa aku berkata seperti itu ke ibu. Aku jelas-jelas memilih teman-temanku didepan ibu ketimbang pergi menjenguk ayah yang sedang drop. Mengapa aku tega melakukan itu sama keluargaku? Aku telah berbuat salah, aku sadar itu. Namun, aku juga kesal karena rencanaku yang selama ini ditunggu-tunggu malah batal. Tapi, tidak ada yang perlu di sesali.
Kali ini aku enggak mau membahas Rafa, karena percuma. Dia nggak akan muncul dan mungkin dia nggak peduli kalo aku nggak jadi ikut mereka. Aku belakangan ini sangat dekat dengan Alex. Dia berencana kerumahku hari ini, aku ingin bersiap-siap dan menunggunya di bawah.
"bu, maaf soal tadi, aku nggak bermaksud.." belum selesai aku mengatakan, ibu sudah menjawab duluan.
"Nggak apa-apa Kei, ibu paham banget kamu kecewa." jawab ibu sambil tersenyum. Ibu benar-benar mengerti aku, dan sekarang aku makin merasa kecewa.
Aku hanya menjawab ibu dengan anggukan dan senyuman.
"Oh iyaa, Alex jadi kan kesini? Ibu udah masak makan siang."
"Iya jadi kok bu, ini lagi nunggu dia dateng,"
Ibu tersenyum. Ibu sangat mendukung kedekatan aku dan Alex. Setelah aku menceritakan bagaimana hubungan sahabatanku dengan Rafa ibu malah lebih senang aku menjumpai orang-orang baru. Biar imbang, candanya. Tidak lama kemudian, Alex datang. Kami makan siang bersama. Lero? Dia sedang pergi keluar dengan temannya, dan tidak tau jam berapa akan pulang. Kami berbincang-bincang seusai makan di ruang keluarga. Disana terdapat banyak foto-foto keluarga kami. Aku izin ke dapur untuk mencuci piring dan membiarkan ibu mengobrol dengan Alex. Dengan bakat kecepatan menyuci piringku, enggak sampai 10 menit aku selesai dan ketika ingin bergabung lagi di ruang keluarga, aku tertahan di pintu dekat meja makan. Pintu yang menghubungkan meja makan dengan dapur belakang. Aku seperti mengintip ke arah ibu dan Alex. Awalnya aku tersenyum bahagia karena mereka sangat akrab sekarang, tapi tiba-tiba aku merasa sedih karena..
"Ini saat Keira kelas 6, dia nari di sekolahnya." ucap ibu sambil menunjukkan fotoku ketika menari kepada Alex.
"Cewek banget ya dia, bu. Cantik pula." Aku tertawa ketika mendengar Alex mangatakan ini.
"Nah ini, dia nangis waktu tau kalo ayahnya mau kerja di luar negeri."
"Kelas berapa dia bu?"
"2 smp, dia bener-bener deket sama ayahnya. Kadang kalau dia sedang nggak satu pendapat sama ayahnya, dia bakal menyendiri di kamar. Kalo bukan ibu yang nenangin, ya mana mau dia berbaikan sama ayahnya," ucap ibu sambil tertawa geli mengingat kejadian itu.
"Jadi, mereka bener-bener deket ya bu. Sama ibu juga deket banget ya.."
"iya, kami emang deket satu sama lain. Adeknya Keira juga. Kalo kamu gimana sama keluarga?"
"hmm," Alex berhenti sejenak, dia tersenyum. ".. aku udah pisah sama ayah ataupun ibuku. Ayah dan ibuku pisah, karena aku."
"Ibu minta maaf, ibu nggak tau.."
"Nggak perlu bu, lagian ibu mungkin harus tau. Aku belum cerita ke Keira, karena aku takut orang membenci aku atas perbuatanku. Kadang suka nyesel sendiri."
Ibu merasa bersalah karena nanyain itu ke Alex, aku tau dari gerak-gerik ibu.
"Aku ngerasa kalau emang orang tua ku itu udah nggak bisa sama-sama lagi. Udah mulai salah paham, dan nggak mau berbaikan. Aku udah mencoba untuk meleraikan masalah kalau ada masalah. Tapi bu, aku manusia, aku punya batas kesabaran. Dan mungkin itu kekuranganku, menjadi orang yang emosional sekali di beberapa waktu. Dan ketika mereka memutuskan untuk pisah aku hanya bilang yaa pisah, pisah aja, kalo kalian pisah aku bakal keluar dari rumah ini. Itu kalimat yang aku sesalin sampai sekarang, mungkin karena aku ngomong gitu, mendukung banget mereka buat pisah. Sampai sekarang aku nggak tau keberadaan mereka, kami kayak hidup masing-masing."
"Alex... ibu bener-bener nggak tau mau ngomong apa. Yang bener-bener kamu harus tau, manusia itu pasti buat kesalahan, dan kita yang bisa memperbaiki keadaan tersebut."
"Tapi, ibuku pasti benci banget sama aku, karena kami deket banget dulu. Bahkan disaat ayah nggak ada dirumah pergi ke luar kota atau ke luar negeri karena kerjaan pasti aku sama ibu. Dan ibu pasti nggak nyangka aku bakal ngomong kayak gitu. Aku bener-bener nyesal sekarang."
"Wajar kamu menyesal, itu normal. Sekarang kalau kamu ngerasa kamu emang bersalah banget karena udah menyebabkan orang tuamu pisah, kamu yang harus memperbaikinnya ya?" ibu menenangkan Alex.
Dan aku hanya terdiam di tempat yang sama seraya menangis perlahan. Benar-benar tidak terduga. Pantas aja Indie nggak pernah bahas tentang Alex lebih jauh, apalagi berhubungan dengan keluarganya. Indie pasti mau Alex ngomong sendiri sam aku tentang keluarganya.
Aku memberanikan diri ke ruang keluarga dan bergabung dengan ibu dan Alex. Tak lama kemudian, ibu izin masuk ke kamarnya karena hendak istirahat. Hanya tinggal aku dan Alex disana. Dan sekarang aku menceritakan apa yang terjadi. Aku menceritakan tentang rencana pergi ke Singapore yang gagal. Alex hanya memelukku, dia seperti tau apa yang aku rasakan. Dan bahkan aku nggak bisa bayangin apa yang Alex rasakan selama ini tentang keluarganya. Alex bilang kalau aku seharusnya bahagia karena bisa ketemu ayahku dan pergi ke German. Itu bisa jadi kenangan yang bahagia, katanya. Aku hanya mengangguk, dan kali ini aku yang memeluknya. Aku tau rasa sedih itu Lex, kamu nggak usah ceritain ke aku. Aku minta maaf jadi penguping yang bener-bener pengen tau tadi, aku nggak bermaksud. Tapi dengan kayak gitu, aku jadi tau apa yang Alex rasakan. Aku mulai ngerti kenapa dia terkadang nggak mau bahas tentang keluarganya, walau cuma di obrolan-obrolan nggak penting kami. Yang kami bahas selama ini hanya keluarga ku, sedangkan Alex cuma mencoba untuk tidak mengungkit-ngungkit keluarganya. Dan sekarang aku tau alasan Alex apa. Makasih Lex, kamu udah nyadarin aku kalau keluarga itu terpenting dan aku nggak boleh menomor dua kan keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let him go
RomanceKeira, wanita yang bisa mengalah demi teman. Mengalah untuk kebaikan semua. Mengalah akan perasaan yang selama ini ia pendam. Rafa, yang tidak pernah mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaan kepada sahabat nya sendiri. Elena, yang...