Sepertinya habis ini aku harus beli jaket yang tebal, kalau perlu mantel sekalian.
Musim gugur itu dinginnya bukan main walau belum apa-apanya dibanding musim dingin yang suhunya bisa merasuk sampai sumsum tulang belakang. Tentu saja. Denagn ripped jeans, kaus polos abu-abu tipis, dan kemeja kotak-kotak yang kukekanan saat ini sangat tidak cukup untuk melindungiku dari udara dingin.
Terlebih lagi, semuanya sudah butut, bau, tak layak pakai. Aku sampai lupa kapan aku mendapatkan pakaian ini dan tidak bisa membayangkan kapan akan mendapat ganti. Mendapatkan pakaian baru seringkali menjadi hal mewah bagiku.
Di salah satu peron Stasiun Seoul, aku duduk sendiri bak orang hilang. Tidak ada kereta yang kutunggu, pun orang datang yang naik kereta entah dari mana. Aku di sini tanpa tujuan. Hanya menumpang duduk setelah semalam menumpang tidur di ruangan sempit—yang kubobol pintunya—di dekat toilet stasiun.
Aku menggelandang jika kalian perlu sesuatu yang harus dipertegas.
Tidak ada rumah. Tidak ada uang. Tidak ada keluarga. Tidak ada apa pun yang kumiliki selain diriku sendiri, pakaian yang melekat di tubuh, dan tas selempang kecil di sampingku. Isinya alat make up ala kadarnya dan botol parfum yang isinya nyaris habis.
Itu hasil mengutil di salah satu outlet. Bukan beli. Makan saja susah minta ampun, aku pasti akan dianggap gila kalau membeli segala keperluan make up di saat perutku kosong tak diisi berhari-hari.
Ada satu hal yang tampaknya harus kuluruskan dari pola pikir kalian.
Gelandangan tidak selamanya berpakaian super kotor dan robek-robek, yang bahkan sudah tidak seharusnya dijadikan lap sekali pun. Gelandangan dalam artian setidaknya untuk diriku sendiri hanya tidak memiliki tempat tinggal dan uang. Teman-temanku rata-rata anak muda yang bertengkar hebat dengan orang tua atau kerabat dan memutuskan kabur dari rumah.
Kami memang mencuri di toko, terkadang yang laki-laki mencopet, juga makan di restoran lalu kabur tanpa membayar, tapi kami tidak memasang muka memelas dan meminta belas kasihan orang lain dengan menengadahkan tangan.
Aku tidak bilang yang kami lakukan lebih baik, hanya perlu diketahui agar tidak disama ratakan.
"Hyunjung!"
Kepalaku memutar ke kanan, memfokuskan pandangan pada pemuda yang baru saja memanggil namaku, dan kini berlari ke arahku. Di tangan kanannya ada kantung plastik hitam dan itu kabar baik untukku. Aku bisa makan pagi ini.
Tapi sebelum itu ....
Plakk!
Tanganku dengan ringannya melayang, memukul belakang kepala pemuda yang kini melotot padaku.
"Sudah berapa kali kubilang, panggil aku aku Noona? Meski hanya dengan panggilan kau harus ada sopan santun, Tae."
Namanya Taehyung. Kim Taehyung. Satu tahun lebih muda dariku yang kini sudah 25 tahun. Kemudian bibir Taehyung mencebik, meski tidak mengatakan apa pun sebagai bentuk protes.
"Aku dapat makanan," katanya. Dibongkarnya isi plastik yang dibawa dan isinya sudah ada di kursi panjang yang kami duduki saat ini. Di antara aku dan Taehyung, mendesak tasku yang terpaksa harus kupangku.
"Makanan kedaluarsa lagi?"
Jika tidak bisa pura-pura jadi pembeli di restoran dan kabur tanpa membayar, kami biasanya akan meminta makanan yang sudah kedaluarsa dari minimarket. Itu pun kadang dapat, kadang tidak.
"Adanya. Ini syukur bisa dapat banyak dan tidak ketahuan yang lain."
Lima kotak susu—kedaluarsa kemarin, tiga sandwich, dua keripik kentang, dua nasi instan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Craziest Thing [TELAH TERBIT]
FanfictionMin Yoongi mengajakku menikah. Lima tahun tidak pernah bertemu sama sekali dan hal serius yang dikatakannya padaku menjadi hal paling gila yang pernah kudengar seumur hidupku. Lebih gilanya lagi, dengan penawaran yang tak dapat kulewatkan, aku berka...