16. Sign

4.4K 697 74
                                    

Aku tak menghiraukannya sama sekali. Tatapan Yoongi yang tak memiliki arti pasti itu. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, sudah kubilang aku agak sulit untuk memahaminya. Tapi yang pasti, Yoongi pasti sudah mendengar apa yang terjadi kemarin entah dari kedua orang tuanya atau Sojung.

Mereka kemarin pulang dengan harga diri yang sukses kubanting dengan keras. Haruskah aku bangga?

"Hyun, katakan sesuatu," pintanya pada akhirnya. Semalam ia terlambat pulang dan aku sudah tidur. Ia terbangun setelah kucium dan hanya menatapku tanpa arti yang jelas, padahal aku tahu ia penasaran pada banyak hal.

"Apa yang harus kukatakan?" Aku malah bertanya. Kutuangkan air panas yang baru mendidih dari teko listrik ke cangkir berisi kopi instan.

Wajah Yoongi berubah jengkel, aku sadar, tapi tidak tahu apa sebabnya. Entah aku yang sengaja tarik ulur atau hal lain.

"Tolong berhenti bersikap seolah kau tidak tahu apa maksudku. Tidak semuanya harus dijelaskan secara gamblang. Belajarlah peka."

Aku meliriknya. Sorot dari mata sipitnya sedikit membuatku merasa tidak enak. Jadi karena aku, oke.

Sudah cukup tarik ulurnya. Untuk sekarang, maupun nanti. Yoongi tidak suka dan aku harus memahaminya. Kami harus belajar memahami satu sama lain, 'kan?

"Jika ini menyangkut Sojung dan orang tuamu, biar kupersingkat, aku mengatakan jika aku tidak akan menyerahkan bayi ini. Entah apa yang mereka katakan padamu?"

"Dengan tidak sopan?"

"Tidak pada Sojung, kurasa, dan pada orang tuamu, sedikit? Maaf. Aku terlalu emosi kemarin. Ibumu bahkan mendorongku hingga jatuh saat baru masuk."

Aku bukan perempuan berhati malaikat. Tidak ada yang perlu kututup-tutupi soal perilaku mereka terhadapku. Mungkin saja, Yoongi yang lebih tahu bagaimana perangai mereka, akan sedikit memakluminya.

Kuserahkan kopi yang selesai kuaduk pada Yoongi dan tak dihiraukan sama sekali olehnya. Atensinya masih tercurahkan sepenuhnya untukku. Sorot matanya tidak berubah sedikit pun. Aku tidak mendapatkan pemakluman darinya, sepertinya.

"Kau mengatakan sesuatu tentang rahim Sojung?"

Aku terdiam. Sepertinya ada bagian yang memang kukatakan kemarin sampai pada telinga Yoongi. Aku sadar jika yang kukatakan kemarin pada Sojung soal rahimnya memang keterlaluan. Belum lagi kalau Sojung atau orang tua Yoongi menyampaikan dengan ditambah bumbu penyebab.

"Ya, maaf," kataku, mengambil duduk berseberangan dengan Yoongi di meja makan.

Lantas Yoongi menghela napas dan membuangnya berat. Sorot matanya berubah, lebih sayu, lebih tak terbaca.

"Jangan begitu lagi, ya," ujarnya lembut. "Aku tahu Sojung dan orang tuaku pasti keterlaluan padamu, tapi bukan berarti kau bisa berlaku sama seperti mereka, bahkan menyinggung kekurangan yang tak bisa diperbaiki sama sekali. Itu tidak baik."

Aku seperti anak kecil yang sedang dinasehati sang Ayah sehabis berkelahi dengan teman di sekolah. Dulu aku pernah begitu, tapi Ayah masa bodoh. Malah berkata aku harus tahu bagaimana membela diri, tanpa embel-embel harus paham batasan.

"Maaf. Aku emosi kemarin."

"Aku mengerti. Balas jika kau merasa perlu, tapi kendalikan sedikit level kepedasan mulutmu."

***

Hera menelepon, memintaku untuk datang ke rumahnya, entah untuk apa karena sejak Yoongi menjemputku di rumahnya, ia belum menghubungiku sama sekali.

Kukira Hera masih marah.

Aku datang saja. Yoongi mengizinkan dan kupikir ada yang harus kubicarakan dengan Hera. Sesuatu yang harusnya kuceritakan langsung padanya, tapi Hera malah harus mendengarnya dari orang lain.

Craziest Thing [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang