Penawaran terakhir Yoongi memaksaku berpikir ulang.
Mengembalikan apa yang telah hilang dariku—aset keluarga—memang cukup menggiurkan, tapi aku tahu dunia bisnis dan segala hal yang ada sangkut paut dengannya bukan hal yang mudah untuk ditangani, jadi aku urung.
Tapi begitu menyinggung kematian Ayah, aku benar-benar tidak bisa mengabaikannya. Aku jadi orang pertama yang menemukan Ayah gantung diri di ruang tengah rumah kecil kami di pinggiran Incheon sepulang aku sekolah. Itu memukul mentalku telak dan aku sudah bisa menerima mungkin Ayah depresi karena bisnis yang dibangunnya bertahun-tahun hilang tak bersisa. Tapi begitu Yoongi bilang Ayah bukan meninggal karena bunuh diri ... lantas apa?
"Sejak kemarin kau banyak melamun? Masih memikirkan kejadian malam itu?"
Aku ingin melupakan kejadian malam itu, tapi tidak bisa. Itu masih menggangguku, tapi jelas bukan itu yang kini jadi fokus pikiranku.
Aku menggeleng lemah. Taehyung dan Hoseok harus mulai mengurangi kadar kekhawatirannya padaku atas kejadian malam kemarin. Itu salahku. Keteledoranku. Kebodohanku. Pelan-pelan aku pasti bisa melupakan kejadian itu. Luka pasti akan mengering.
"Tidak. Itu menyakitkan, tapi sudahlah. Lama-lama aku juga akan lupa. Kalian juga. Jangan terlalu khawatir. Aku jadi tidak enak karena aku terlalu bergantung pada kalian."
"Jangan merasa begitu, Noona. Kalau bukan karena kau, aku dulu juga pasti sudah mati kelaparan."
Taehyung pernah cerita tidak ada kerabat yang peduli padanya begitu keluarganya jatuh ke titik terendah dan dililit banyak hutang. Seluruh hartanya disita rentenir dan kedua orang tuanya bunuh diri dengan melompat ke laut dan ditemukan tewas tiga hari setelahnya.
Taehyung tidak lagi punya siapa-siapa. Berhari-hari menggelandang dan tidak makan barang sesuap nasi pun, Taehyung bertemu denganku pertama kali di bawah jembatan dekat pintu tol. Badannya sudah sangat lemas jadi aku menyerahkan makananku padanya.
Sejak hari itu, Taehyung selalu berterima kasih padaku. Mengatakan aku telah menyelamatkan hidupnya dan akan membayarnya dengan selalu ada di sisiku dan membantuku selagi ia bisa.
"Pria yang semalam itu siapa?" tanya Hoseok. Setelah semalaman ia bungkam padahal aku tahu pasti ia penasaran, akhirnya ia bertanya.
"Pria siapa?" Taehyung turut bertanya, tidak tahu siapa pria yang dimaksud.
"Hanya seseorang yang kebetulan kukenal. Dia seperti mengasihaniku yang sekarang. Aku kurang suka."
"Semalam dia menyinggung soal keluargamu. Bukan sesuatu yang buruk, 'kan?"
Hoseok orangnya lumayan teliti. Dalam beberapa hal, ia bisa tahu sampai ke detil dan mengingatnya dalam kurun waktu yang cukup lama.
Aku menggeleng. "Tidak. Bukan sesuatu yang penting." Kemudian aku beralih pada Taehyung. "Bagaimana dengan Minhee?"
Wajah Taehyung berubah sendu begitu nama Minhee kusebut. Belum saatnya aku mendengar kabar baik.
"Tidak ada hasil kemarin. Katanya ada yang pernah melihat Minhee di Yongsan, tapi aku tidak menemukannya di sana."
Aku jadi semakin khawatir. Minhee agak manja karena alasannya berada di jalanan adalah kabur dari rumah, bukan keterpaksaan dan satu-satunya jalan yang dimiliki seperti yang lainnya. Lebih dari aku, Minhee terlalu bergantung pada Taehyung dan Hoseok untuk segala hal. Ia yang paling sulit menyesuaikan diri. Tapi sejauh ini, Minhee cukup sadar diri untuk tidak merepotkan yang lain karena kemanjaannya. Bagus jika Minhee kini berada di tempat dan situasi yang lebih baik. Jika tidak?
"Kita coba cari lagi nanti di sana. Aku akan ikut mencari," kataku.
Taehyung dan Hoseok setuju, lalu kami lanjut makan. Dua gulung kimbab untuk kami bertiga, di kedai yang berjarak hampir satu kilometer dari motel tempat kami menginap semalam. Masih pagi, namun kimbab ini harus cukup untuk mengisi tenaga kami hingga malam hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Craziest Thing [TELAH TERBIT]
FanfictionMin Yoongi mengajakku menikah. Lima tahun tidak pernah bertemu sama sekali dan hal serius yang dikatakannya padaku menjadi hal paling gila yang pernah kudengar seumur hidupku. Lebih gilanya lagi, dengan penawaran yang tak dapat kulewatkan, aku berka...