7. We Got Married

5.5K 819 79
                                    

Yoongi telah mempersiapkan segalanya. Dalam artian secara harfiah, segala hal yang akan mendukung sahnya pernikahan kami. Terutama dokumen yang diperlukan saat kami mendaftarkan pernikahan super mendadak ini.

Dua hari berselang sejak mengunjungi makam Ibu, pernikahan kami sah secara hukum. Saat datang ke kantor pemerintah yang mengurus perihal pernikahan, aku tinggal tanda tangan dan kami benar-benar sah.

Sesederhana itu. Sesingkat itu. Penasaran bagaimana bisa, tapi aku bungkam. Yoongi sudah mewanti-wanti untuk tidak banyak bertanya.

Selepas kami resmi menjadi suami istri, Yoongi mengantarku pulang dan ia pergi ke kantor kejaksaan. Masa cuti singkatnya sudah habis.

Pernikahan kami terjadi hanya seperti itu. Hanya dicatatkan secara hukum. Tidak ada pemberkatan, resepsi, atau semacamnya. Aku tidak berniat menuntut, tapi semalam aku memberanikan diri untuk bertanya padanya dan jawabannya membuat mulutku terkunci seketika.

"Orang tuaku belum sepenuhnya setuju dengan keputusan pernikahan kita. Mereka belum tahu alasan di balik pernikahan ini dan sebaiknya tidak ada yang tahu selain kita. Menikah secara sah di mata hukum adalah langkah paling jauh yang bisa kulakukan, jadi turunkan sedikit fantasimu soal pernikahan," jawabnya panjang lebar yang langsung kupahami tanpa perlu dijelaskan dua kali.

Orang tua Yoongi. Aku belum pernah bertemu lagi dengan mereka dan kata Yoongi sebaiknya jangan. Mulut mereka sangat berbisa dan racunnya bisa mengulitiku hidup-hidup—Yoongi sendiri yang bilang. Jangan mengusik mereka kalau ketenangan hidupku tidak mau terusik juga.

Tapi bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang orang tuanya belum kutemui dan kumintai restu? Aku tahu jika pernikahan ini pun tidak didasari oleh cinta, tapi tetap saja ....

"Jangan banyak berpikir yang tidak penting dan fokus saja belajar," kata Yoongi semalam, membuyarkan lamunanku, mengingatkan pada satu hal yang tidak ingin kulakukan lagi seumur hidupku.

Belajar. Ya Tuhan ... aku benci belajar.

Kupandangi setumpuk buku latihan ujian kesetaraan di meja. Segel plastiknya sudah terlepas, semalam sudah kubuka asal, tapi tidak ada satu kata pun yang kubaca.

Matematika, bahasa—lokal dan Inggris, pengetahuan umun, sains. Astaga ... membayangkan aku akan belajar saja sudah membuat kepalaku menguap, bagaimana kalau sudah mulai? Meledak tak bersisa.

Tidak genap seminggu waktu yang kumiliki sebelum ujian kesetaraan dilaksanakan, aku harus menguasai setidaknya tujuh puluh persen dari buku latihan yang Yoongi belikan untukku.

Tujuh puluh persen ... mati sajalah. Itu sama saja aku harus menguasai beberapa level di atas batas kemampuanku.

Namun, aku tidak punya pilihan untuk menyerah. Bisa atau tidak, urusan belakangan. Yang penting aku usaha dulu, jadi Yoongi bisa paham dirinya telah memilih istri berotak dangkal dan tidak akan memaksaku ikut ujian kesetaraan lagi.

Aku turun dari sofa. Bersila di depan meja dan meraih satu dari empat buku tebal di meja. Matematika menyambut mataku dan membuatnya memanas.

Katakanlah aku berlebihan, tapi aku sungguh benci belajar. Terutama matematika. Guruku saat SMA pernah memukul punggungku sampai berbekas dengan tongkat kayu karena nilaiku di bawah standar. Kejam sekali. Meski setelahnya guru itu mendapat teguran keras dari dinas pendidikan, tetap saja aku trauma.

Di tengah memanasnya mata dan otakku karena matematika, suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatianku. Yoongi sudah pulang, padahal hari masih terbilang sore. Aku jadi ragu ia jaksa sungguhan. Datang ke kantor siang hari, sore begini sudah pulang.

"Sudah sejauh mana belajarnya?" tanya pria berkulit putih pucat itu seraya melonggarkan dasinya. Tas kerja diletakkan di sofa, bokongnya menyusul kemudian.

Craziest Thing [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang