20. Fair?

4.1K 733 121
                                    

Terkadang manusia memang sulit sekali dipahami. Pola pikir mereka abstrak, tak terarah. Atau mungkin lebih karena setiap kepala berbeda pemikiran, jadi sulit sekali memahami isi kepala yang lain karena merasa 'aku' tidak seperti itu.

Di dunia ini, dari sekian banyak orang yang kukenal, hanya Sojung yang paling tidak dapat kumengerti isi kepalanya. Dari dulu, sifat arogannya sudah sangat terlihat, tapi tidak separah sekarang. Sojung benci saat ada gadis lain menyukai lelaki pujaan hatinya, tapi cara yang dilakukannya dulu lebih halus. Ia akan menyebar rumor buruk tentang gadis itu dan membuat lelakinya mati rasa, walau akhirnya ia juga tidak mendapatkan lelaki itu.

Kami berteman, dulu. Cukup dekat. Sepertinya karena faktor hubungan bisnis orang tua kami. Sampai pada satu titik di mana aku tahu arogansinya sama sekali tidak pandang bulu. Tak peduli teman atau musuh.

Kelas musik selalu menjadi favorit kami, tapi Sojung tidak menguasainya sama sekali—hanya senang mendengarkan. Ada satu tugas untuk kami membuat not dari lagu yang diberikan guru dan Sojung tidak mengerjakannya. Aku menawarkan untuk ia menyalin milikku, tapi Sojung dengan tidak tahu dirinya minta milikku dan bilang aku bisa membuatnya lagi.

Sebenarnya bisa saja aku melakukannya. Lagunya tidak terlalu panjang dan sisa waktu sebelum kelas musik dimulai masih cukup lama, tapi Sojung akan semakin tidak tahu diri nantinya kalau aku menurutinya.

Sojung mendiamkanku selama beberapa hari karena hal itu, dan kupikir itu hanya kemarahan biasa—sesaat. Tapi tidak. Arogansi Sojung tidak sebatas itu. Ia menyebarkan rumor palsu tentangku. Aku dicap murahan karena rumor yang menyebar adalah aku main belakang dengan guru musik demi nilaiku selama ini. Kebetulan, guru musik kami saat itu laki-laki dan masih muda—wajahnya lumayan.

Kami menjauh sejak saat itu dan sekolah di SMA yang berbeda setelah lulus. Tidak ada kabar apa pun tentang Sojung yang kudengar dan kini kami malah dipertemukan dalam lingkaran takdir menggelikan di mana aku adalah istri kedua dari suaminya.

"Hei, kau tidak periksa ke dokter atau apalah?"

Aku sedang membuat susu hangat untuk diriku sendiri saat Sojung keluar kamar dan menyalakan TV di ruang tengah. Seperti biasa, ia seperti tidak menganggapku ada tapi tiba-tiba ia bicara padaku.

"Minggu lalu aku sudah memeriksakan kandunganku dan baik-baik saja. Tidak perlu khawatir," kataku. Ia takkan repot-repot mengkhawatirkan kesehatanku, jadi aku tahu sekali yang dimaksudnya.

"Kau mau susu hangat juga?" tawarku. Sojung sempat berpikir beberapa saat sebelum mengangguk.

Belum ada bendera putih berkibar, tapi sepertinya kami sedang ingin rehat sejenak dari perang tanpa darah yang tak tahu kapan berakhir. Dua cangkir susu hangat selesai kubuat dan kubawa ke ruang tengah.

Kami duduk bersama tanpa tensi menegangkan seperti biasanya. Kupikir, mungkin memang kami hanya perlu tenang untuk sesaat dan bicara. Jika itu bisa.

"Jadi Yoongi alergi seafood?" Sojung membuka pembicaraan. Gelasnya ia genggam dengan kedua tangan. Mungkin penghangat ruangan tidak cukup untuk mengusir hawa dingin yang menyambangi tubuhnya.

"Ya. Aku juga belum lama tahu."

"Aku malah tidak tahu sama sekali."

Biasanya, akan ada kesan terlukanya harga diri jika Sojung tertinggal dalam suatu hal dari orang lain. Tapi tidak kali ini. Malah ada kesan terluka, yang sangat jarang kulihat darinya. Mungkin selama ini arogansinya menutupi betapa banyaknya luka yang ia miliki.

"Pada akhirnya, aku mungkin akan mendapatkan segalanya. Yoongi, dan anakmu. Aku akan terlihat memenangkan sesuatu yang besar. Tapi nyatanya, aku kalah bahkan sebelum perang dimulai."

Craziest Thing [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang