Yoongi menghujamkan tatapan tajamnya padaku. Bendel kertas di tangannya pun sampai diabaikan, diletakkan di atas meja kaca depan sofa beludru coklat yang kami duduki.
"Gay?" Sekali lagi mengulangi satu kata itu, seolah berharap aku tidak benar-benar menggunakan satu kata laknat itu sebagai alasan.
"Ya ... itu 'kan hanya alasanku saja."
"Kenapa harus gay? Apa otakmu memang hanya punya koleksi kosakata buruk?"
"Sudah kubilang hanya alasanku saja. Kalau kau bukan gay sungguhan, bisa 'kan kau abaikan saja? Kecuali kau memang ...."
"Memang apa?"
Aku hanya mengangkat bahu, tidak menyahut. Kutambah lagi volume TV karena Yoongi tak lagi fokus dengan kertas-kertasnya.
Pembicaraan tak bermutu soal gay tak lagi berlanjut. Yoongi pun tak lagi berkutat dengan kertas-kertasnya. Malah ia mengambil satu kotak potongan apel dari dalam kulkas, lalu kembali duduk di sampingku.
"Hyunjung," panggilnya, memancingku untuk menoleh padanya. Nada bicaranya agak berbeda, jadi aku penasaran apa yang ingin dibicarakannya.
"Kenapa kau bisa tinggal di jalanan?"
Aku mendesah. Ingin mengorek informasi, rupanya. Tapi tidak ada salahnya aku membahas lagi masalah berat dalam hidupku dengan orang yang mungkin tidak lama lagi akan menjadi suamiku. Ia perlu tahu tentangku, nanti ada saatnya aku akan bertanya padanya.
"Keluargaku hancur sehancur-hancurnya setelah kebangkrutan Ayah. Tidak ada harta yang tersisa sedikit pun, bahkan tabungan yang ada di bawah namaku."
"Itu aku tahu. Tapi setelah kau meninggalkan rumah lamamu, di mana kau dan keluargamu tinggal?"
"Rumah kecil di pinggiran Incheon. Aku tidak masalah tinggal di sana, tapi tidak dengan ibuku yang biasa hidup berkecukupan. Orang tuaku sering bertengkar, berujung kaburnya ibuku dan meninggalnya ayahku karena bunuh diri."
Sejak saat itu, aku tidak punya siapa-siapa. Terpaksa aku melapor ke polisi dan meminta bantuan memroses pemakaman Ayah karena aku tidak punya uang untuk mengurusnya sendiri. Bahkan setelah dikremasi, aku memilih membuang abu jenazah Ayah ke danau dekat perumahan lama kami karena tidak ada uang untuk menyewa satu tempat di tempat penampungan abu jenazah.
"Kau tidak pernah bertemu dengan ibumu lagi setelah itu?"
Aku menggeleng. "Tidak ada kabar apa pun setelah Ibu kabur, bahkan tidak ada niatan sedikit pun darinya untuk mencariku. Aku tidak peduli lagi. Kurasa Ibu hanya peduli pada harta Ayah."
"Bagaimana dengan kerabat?"
"Ayah tidak punya saudara, Ibu congkak sekali saat kami masih berkecukupan, jadi kurasa karena itulah tidak ada satu pun kerabat yang peduli padaku."
"Katakanlah ibumu kembali dan meminta bantuan kerabat lain, bukankah kau pasti akan dicari?"
Aku mengangkat bahu. Tidak tahu dan tidak mau tahu dengan segala kemungkinan yang terjadi. Bagiku, Ibu sudah tidak lagi peduli padaku karena tidak sekali pun kudengar aku dicari olehnya. Hidupnya kembali enak pun aku tidak peduli. Jalan kami sudah beda arah.
Yoongi tidak bertanya lagi. Dalam diam, matanya menatapku lekat. Bukan tatapan mengamati, tapi ... entahlah. Apa yang ada pada diri Yoongi sering kali sulit kudefinisikan.
"Tidurlah. Besok masih banyak yang harus kita urus."
Hanya itu yang dikatakannya sebelum mengambil satu bendel kertas yang tadi diletakkan di meja, dan berlalu ke kamarnya sendiri yang berseberangan dengan kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Craziest Thing [TELAH TERBIT]
FanfictionMin Yoongi mengajakku menikah. Lima tahun tidak pernah bertemu sama sekali dan hal serius yang dikatakannya padaku menjadi hal paling gila yang pernah kudengar seumur hidupku. Lebih gilanya lagi, dengan penawaran yang tak dapat kulewatkan, aku berka...