Beberapa detik yang lalu, bel berdenting beberapa kali-tidak sabaran-dan setelah kuperiksa di layar interkom, rasanya ingin pura-pura tuli dan berlagak seolah aku tidak ada di rumah.
Lee Sojung. Belakangan sejak aku menandatangani kontrak tentang anak itu, ia tenang tanpa mengusikku sedikit pun. Yoongi pun tidak pernah membicarakannya--mungkin yang satu itu disembunyikan. Tapi jelas Sojung takkan membuat hidupku tenang begitu saja. Mengganggu orang lain adalah kewajiban dalam hidupnya.
Aku menekan tombol di interkom yang dapat membuka kunci pintu. Sojung bisa masuk sendiri tanpa harus kusambut secara langsung. Selanjutnya, Sojung kembali mengejutkanku, lebih dari kedatangannya saat ini.
Sojung membawa sebuah koper besar. Firasatku jadi tidak baik.
"Aku tahu kau bingung, jadi biar kuberitahu kalau mulai hari ini aku akan tinggal di sini. Bagaimanapun situasi kami, aku tetap istri Yoongi. Istri pertamanya."
Sojung memberi penekanan pada kalimat terakhir. Seperti ingin menamparku dengan kenyataan bahwa aku hanya istri kedua yang dibutuhkan hanya untuk menghasilkan anak dan dibuang kemudian.
"Di mana kamar Yoongi? Aku harus merapikan barang-barangku."
Aku bersidekap, menyandarkan punggung pada dinding, menatap Sojung remeh; siap dengan serangan balasan. "Kau tidak tahu kamar suamimu sendiri? Katanya istri pertama."
Sojung itu mudah dipancing emosinya. Kata-kataku barusan belum apa-apa, tapi perubahan ekspresi Sojung terlalu jelas dan tidak ada usaha darinya untuk menutupinya barang sedikit saja. Lagaknya menjadi sosok kuat, tapi tanpa uang keluarganya, Sojung mudah dihancurkan hanya dalam sekali injak.
"Hanya karena selama ini kau tinggal bersama Yoongi, jangan kira kau sudah memiliki segalanya."
"Aku memang memiliki segalanya. Yoongi, sedikit kebahagian hidup, dan anak. Tiga hal itu cukup. Apa kau punya? Jangan menampik jika status istri yang kau sandang tidak lantas membuatmu memiliki Yoongi seutuhnya."
Salah satu sudut bibir tipis Sojung terangkat. Seringainya tidak sepenuhnya meremehkan, bercampur hilangnya sedikit harga diri yang menguar karena aku. Setidaknya kami pernah saling mengenal, jadi aku tahu celah mana yang bisa kumasuki untuk membuatnya sedikit goyah.
"Itu tidak akan berlangsung lama, Hyunjung. Begitu anak itu lahir, kau akan kehilangan segalanya, bahkan darah dagingmu sendiri."
"Tujuh bulan yang tersisa sebelum aku melahirkan masih cukup lama. Selama itu, aku bisa cukup puas melihat betapa menyedihkannya hidupmu sebenarnya."
Kutegakkan posisiku berdiri; lipatan tangan terurai. "Kamar Yoongi ada di samping dapur. Katamu akan merapikan barang-barangmu, 'kan? Oh, akhirnya Lee Sojung merapikan barangnya sendiri tanpa bantuan para dayang."
Aku berlalu ke kamar yang biasa kutempati bersama Yoongi, menguncinya rapat, menghindari resiko Sojung akan mengamuk setelah tahu kamar yang kutunjukkan adalah kamar kosong yang dulu sempat kutempati sebelum menikah dengan Yoongi.
Wanita iblis itu akan murka. Tunggu saja.
***
Sepertinya Yoongi tidak tahu keputusan Sojung untuk tinggal bersama kami. Jika tahu, ia pasti akan memberitahuku sebelum Sojung datang, dan takkan pulang terburu-buru saat aku memberitahunya.
"Oh, Yoongi. Kau pulang secepat ini?" sambut Sojung yang duduk di sofa ruang tengah, berlagak layaknya Nyonya besar di sini.
"Kenapa kau di sini?" Yoongi tidak basa-basi sama sekali. "Kita sudah sepakat untuk kau tidak menggangguku di sini."
"Memang, tapi aku tidak mungkin diam saja saat tahu suamiku tinggal satu atap dengan perempuan lain." Sojung melirikku yang sedang membuat coklat panas di dapur. "Seburuk apa pun hubungan kita, kita tetap suami istri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Craziest Thing [TELAH TERBIT]
FanfictionMin Yoongi mengajakku menikah. Lima tahun tidak pernah bertemu sama sekali dan hal serius yang dikatakannya padaku menjadi hal paling gila yang pernah kudengar seumur hidupku. Lebih gilanya lagi, dengan penawaran yang tak dapat kulewatkan, aku berka...