(17) Langit...?

11.7K 829 22
                                    

Ify tersenyum lebar dengan mata berbinar saat dirasa perutnya hanya cukup untuk menampung air dan sedikit udara. Kembung, Ify pun menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan menerawang ke luar jendela yang berada tepat di depannya, di belakang tubuh lelaki yang sudah memberinya asupan super lezat.

Langit biru nan cerah, berhiaskan awan putih yang tebal dan menebar bagaikan gulali tanpa warna yang pernah dia beli saat masih kecil, di salah satu pasar malam tempatnya bermain. Ujung kanan bibir Ify−yang memerah karena efek setelah makan−naik sekilas, ketika mengingat kenangan bersama Alvin saat harus membujuknya untuk naik wahana komidi putar yang didominasi anak-anak kecil. Mereka menjadi satu-satunya anak berseragam sekolah dasar malam itu yang hendak naik.

Anak laki-laki kurus yang berkulit cenderung putih pucat itu juga ogah saat Ify merengek untuk mencoba wahana bianglala. Jika bukan karena mata temannya yang memerah dan siap tumpah dengan suara melengking yang menyakitkan telinga, Alvin tidak akan mau menaiki wahana yang membuatnya mirip burung di kandang yang dinaik-turunkan.

Wahana ombak yang biasanya didominasi orang dewasa justru membuat Alvin ingin mencoba, sebagai ganti agar Ify mau menurutinya, Alvin rela menggendong anak perempuan itu setelah mereka pulang dari sana−karena benar saja, turun dari permainan yang membuat kepala pusing tujuh keliling dan perut mual, wajah Ify yang putih lebih pucat dari wajah Alvin sendiri.

Melihat Ify yang tersenyum tanpa henti saat menatapnya, membuat sesuatu berdesir di dada Trio. Rasanya seperti ada jutaan makhluk bersayap di sana yang terbang kesana-kemari. Bibirnya pun ikut terkulum saat menyadari bahwa selain teriakan Ify, Trio mulai menyukai senyumannya.

"Hei," panggil Trio iseng membuat senyum itu sirna seketika. "Aku tahu aku ini tampan, tapi jangan sejelas itu menyampaikannya," katanya penuh percaya diri.

Bibir Ify terbuka sedikit dan membentuk huruf o kecil. "Kamu perlu beli cermin baru kalau begitu," sahutnya mengajak adu mulut. Kemudian berdeham, "terimakasih buat makanannya, rasanya..." Ify tersenyum kali ini sambil menunjukkan kedua ibu jari tangannya. "Kok kamu tahu aku belum makan?"

DEG! Trio melupakan hal itu, dia lupa menyiapkan alasannya mengajak Ify makan siang bersama!

Mata Ify menyelidik sesaat ke arah lawan bicaranya, lalu berpindah ke seluruh penjuru ruangan. Ruang kerja Trio delapan kali luasnya ruang kerja Dimas. Kursi yang saat ini Ify duduki terdiri dari enam buah dengan meja panjang yang mengkilap, di sebelah kirinya terdapat meja kerja Trio yang besar dengan sebuah kursi kerja Trio berwarna hitam yang terlihat mahal dan dua kursi di depan mejanya. Jangan lupakan lukisan yang tertempel di dinding belakang meja kerja Trio yang coretannya tak dapat Ify mengerti, sepertinya masuk ke salah satu jenis gambar abstrak, entahlah. Di belakang kursi yang Ify duduki dengan formasinya yang mirip meja makan. Ada dua buah sofa berwarna putih gading yang berhadapan, dengan meja persegi di tengahnya.

"Ah..." Ify menggumam setelah puas mengamati ruang kerja Bosnya. "Katamu, setelah makan ingin bicara, ada apa?"

Trio teringat dengan kelakuan luar biasa beringas Ify tadi pagi saat melarikan diri, matanya mendadak berkilat. "Kamu kenapa lari tadi pagi? Lupa tanganmu cedera?" tanyanya ketus dengan mata marah yang tercampur rasa cemas.

"Hm..." Ify bergumam lagi−dengan santainya, "itu karena kamu aneh, kamu menyuruhku ke kantor, tapi nggak buat kerja, jadi aku ke tempat Alvin−"

"APA!?" seru Trio dengan mata melotot, "kamu udah gila, ya!? Buat apa kamu ke sana?!"

"Berkunjung," sahut Ify kalem, makanan lezat sanggup meredam keinginan Ify untuk berdebat dengan sosok di hadapannya.

"Berkunjung di pagi hari? Apa kamu sehat?" sahut Trio kemudian berdiri dan berjalan memutari ujung meja. Mata Ify berkedip bingung saat mendapati Trio berjalan ke arah kursinya lalu menyentuh kedua pipi hingga kepalanya mendongak.

Marry Me If You Dare - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang