Last Part

19.1K 935 37
                                    

This is it... Enjoy the last part and... Leave some comment please ^‿^
.
.
.

Last Part

Mata Ify mengerjap sekali sebelum dapat melihat dengan jelas seluruh putih yang berada di sekitarnya. Ify merasakan kehangatan mendekap tubuhnya, dia pun menegakkan tubuhnya yang sempat tertidur dibalik sebuah selimut berwarna putih itu.

Sekali lagi, Ify mengedarkan pandangnya pada seluruh sudut ruangan. Putih. Kosong. Hampa. Hanya ada sebuah kaca jendela besar tembus pandang, berjarak beberapa langkah dari ranjang putih yang sedang Ify duduki saat ini.

Kaca itu menampilkan pemandangan kota. Dengan gedung tingginya. Dengan hijaunya pepohonan. Dengan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Semuanya, di bawah naungan langit biru dengan taburan awan putih yang bergerak perlahan. Ify membatin pilu, yah... itulah kehidupan.

Ify mengingat kejadian sebelumnya. Ify berdiri di pinggir jembatan. Menerima kenyataan yang selama ini tidak pernah Ify dapatkan. Ify tidak mengerti ke mana akal sehatnya, tapi mobil itu menerjang tubuhnya dan Ify merasakan bahwa tubuhnya benar-benar remuk! Rasanya, mati lebih baik daripada Ify harus menahan seluruh rasa sakit itu.

Mungkin aku sudah mati. Tapi, kenapa aku di sini? Apa aku sedang di ruang tunggu atau semacamnya? Ify menghela napas, kemudian menyingkap selimut itu dan mulai berjalan ke arah kaca jendela.

Aku terlalu banyak menonton drama, seharusnya hidupku bisa lebih bermanfaat lagi. Tapi, ya sudahlah, takdirku memang begini. Dilahirkan, dibuang, diadopsi, terobsesi dan akhirnya terluka lagi. Saat aku bertemu Tuhan, apa yang harus aku katakan? Sejak lahir, aku bahkan sudah berlumur dosa, tapi hidup tidak aku perbaiki dengan beribadah dan bersikap selayaknya manusia penuh dosa. Bodoh kamu, Ify. Di saat seperti ini otakmu baru berpikir? Terlambat, kamu sudah mati!

"Ify?"

Kamu bahkan terus berhalusinasi mendengar suara Papa!? Ify sadarlah! Kamu itu sudah mati, berhenti meratap sampai membayangkan hal yang mustahil -

"Ify, Sayang?"

Ify merinding. Bagaimanapun juga, suara itu terdengar sangat nyata! Penasaran, dia pun membalikkan tubuhnya dengan wajah ngeri ke arah kanan, perlahan-lahan. Hingga akhirnya, dia menemukan sosok Papa mengenakan celana dan kemeja putih tengah berdiri sambil tersenyum ke arahnya.

"Pa...pa?" bisik Ify tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ify menggelengkan kepalanya, mencoba berpikir jernih. "Terakhir aku lihat Papa di jembatan, aku justru tertabrak−"

"Kamu nggak merindukan Papa?"

Ify menggigit bibir, persetan dengan halusinasi atau apa pun itu. Ify berlari menuju tubuh Papanya dan memeluk lelaki itu erat, sangat amat erat hingga mungkin Papanya akan kesulitan bernapas.

"Bagaimana kabarmu, Sayang?"

Ify menelan ludah sebelum menjawab. "Baik, Pa. Ify selalu baik kalau di dekat Papa."

"Kalau Ify baik, Ify nggak mungkin berada di sini."

Alis Ify menyatu. Dia pun melonggarkan pelukannya untuk melihat wajah sang ayah. "Memangnya, ini di mana, Pa?"

Bibir Papanya hanya terkulum. "Papa nggak pernah mengajari Ify untuk menjadi gadis lemah dan mudah putus asa," kata Papanya sambil membelai lembut rambut Ify yang terurai.

"Ify nggak putus asa, Pa. Ify hanya..." Ify tidak pernah bisa berbohong di dekat Papanya, entah mengapa. "Ify lelah sama semua ini. Ify udah berusaha semaksimal mungkin, sekuat mungkin. Tapi Ify nggak setegar itu, Pa... Ify nggak sehebat yang Papa kira...."

"Ify, dengar Papa baik-baik."

Ify melepaskan pelukannya, membiarkan lelaki itu memegang kedua bahunya erat, menatap matanya tajam. Persis seperti ketika Papanya melepas Ify untuk pergi merantau ke Jakarta, mengejar impiannya, mencari harapannya yang hilang, dan bertarung dengan kerasnya ibu kota.

Marry Me If You Dare - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang