(11) Fever

11.2K 976 51
                                    

Terimakasih sudah setia sampai di part 11. Ditunggu vote dan komentarnya ya, karena tanpa itu semua, cerita ini tak ada artinya. Selamat membaca!

Part 11 - Demam

Trio mengerjap ketika cahaya menyilaukan itu menusuk kornea matanya. Silir terasa menyapa kulit wajahnya yang bersih tanpa jerawat ketika cahaya itu mulai berpendar, menampakan pemandangan hijau nan luas. Pepohonan yang rindang, suara aliran air yang tak jauh dari tempatnya berpijak dan cicit beberapa burung yang baru saja melintas di atas kepalanya. Terpana, dia pun melangkah perlahan. Telapak kedua kakinya yang tak beralas merasakan lembutnya rumput yang diinjak. Trio menghela napas dalam-dalam, sudah lama dia tak merasa setenang ini.

Rambutnya pun bergoyang mengikuti gerak angin yang menerpanya. Tanpa sadar, bibir Trio tersenyum merasakan kesejukan lingkungan sekitarnya sekarang. Rasanya benar-benar nyaman, sangat nyaman. Andai saja ada Mama, semua akan terasa lengkap, pikirnya masam. Bak menyampaikan keinginan pada lampu ajaib aladin, pikirannya langsung disambut oleh suara lembut yang memanggil nama kecilnya.

"Ri..."

Terbelalak, Trio memutar kepala mencari sumber suara. Mama! Itu Mama! Meyakini bahwa apa yang didengarnya bukanlah halusinasi, Trio berlari sekencang yang dia mampu.

"Ma!" panggilnya sambil berlari, "Ma!" ulangnya ketika tak mendapati sahutan, kepalanya berputar menyusuri padang rumput bergelombang yang seakan tak ada habisnya.

"Ma..." ujarnya, kali ini dengan suara berat dan mata mulai berkaca. Trio tersentak, apa suara tadi hanya halusinasinya karena terlalu lama menahan rindu?

***

Ify hanya mengaduk isi piring makan malamnya. Kali ini, Trio absen lagi seperti saat makan siang. Namun anehnya, baik Dara dan Harry tenang saja mendapati adik mereka yang baru menghancurkan mobil mewahnya kemarin malam tidak menampakan batang hidungnya sampai sekarang.

Mendengar langkah kaki ke arah meja makan, Ify mendongakkan kepala. Pelayan bertompel dengan pelayan berambut kepang dua berjalan cepat ke arah Dara yang masih menikmati makan malamnya.

"Nona Dara," panggil pelayan bertompel yang membuat Dara menoleh langsung. "Tuan tidak menyentuh makan siangnya yang saya letakkan di depan pintu kamar dan tidak merespon panggilan kami untuk mengantar makan malam," lanjutnya cemas.

"Di mana Pak Ben?" tanya Dara mulai panik. Tak berselang lama, Pak Ben muncul dengan wajah tegasnya yang mulai menua. "Hubungi dokter Hans. Sepertinya ada yang nggak beres dengan Tri− maksudku Langit," kata Dara yang disambut anggukan takzim Pak Ben. Lelaki itu lalu menghilang di antara pilar ruang makan.

Setelah mengusap bibirnya dengan serbet, Dara berdiri untuk mengikuti kedua pelayan tadi ke kamar Trio. Namun tiba-tiba, muncul lagi pelayan dengan pakaian serba putih. Berbeda dengan pakaian pelayan bertompel dan kepang dua tadi.

"Nyonya, Tuan Muda sepertinya membutuhkan anda. Daritadi menangis terus," katanya tak kalah cemas.

"Ya Tuhan..." Dara mengusap wajahnya bimbang. "Harry?" Dara terlihat menoleh pada suaminya yang sigap berdiri kemudian menganggukan kepala sembari mengusap bahu istrinya, tanda mengerti.

Kepergian Dara membuat Ify lantas berdiri. Sebenarnya, karena insiden 'bakat menyelamatkan diri' yang terlontar dari mulut liarnya, Ify tidak bisa mengusir perasaan bersalah yang mengusiknya. Hingga Harry menatapnya intens dan membuat Ify menelan ludah.

"Dara..." ujarnya mengambang, "nggak terlalu mengerti cara menenangkan bayi karena Mamanya pergi sebelum mengajarkan hal itu," kata Harry serius dengan menekankan ucapannya di kata pergi.

Marry Me If You Dare - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang