(41) The Truth About Everything

15.4K 797 70
                                    

Siapakah yang mendoakan cerita ini ga tamat?
Aku selalu gagal mau nulis sampe akhir dalam satu part, tau-tau, udah 10 halaman dan mau ga mau harus buat part baru.

Yaudah lah, baca aja ya, happy reading!
Semoga kalian masih bisa nunggu untuk ending yang.......... sad aja kali ya? (u_u)
Apa happy? Hum....
.
.
.

Part 41 - The Truth About Everything
.
.

Ify tersenyum pada Ifa yang baru saja membuka pintu rumah, adik beda sepuluh tahunnya itu berlari dengan cepat ke arahnya dan memeluk Ify sangat erat. Ify mengelus punggung dan puncak kepala adik perempuannya itu bergantian.

"Kok belum tidur, besok kan sekolah, Fa?"

Ifa melepaskan pelukannya dan mendongak. "Aku nunggu Kakak, Kakak lebih penting daripada sekolahku tahu!"

Ify terharu mendengar ucapan remaja di depannya, meski mereka bersaudara, tapi tak ada ikatan darah sama sekali di antara Ify Axelle dan Ifa Kusuma.

"Whoaah, banyak banget bawaan Kakak. Aku bawain handbag dan ranselnya ya, Kak?" tanya Ifa ceria. Jam sepuluh lewat empat puluh lima, namun Ifa tidak terlihat mengantuk sama sekali.

Ify tersenyum. Dia mengizinkan Ifa masuk ke dalam rumah lebih dulu setelah mengambil alih tiga handbag dan ransel hitamnya, meninggalkan Ify dan Farhan, sopir yang dikirim Trio untuknya.

"Farhan," panggil Ify membuat Farhan yang hendak menelepon itu mengurungkan niatnya. "Saya tanya sekali lagi. Trio Langit Shuwan, ada di sini, kan?" tanya Ify tegas untuk kedua kalinya.

Farhan nampak gugup, matanya tidak sama sekali dia arahkan pada Ify dan Ify bisa mengambil kesimpulannya sendiri.

"Dia di sini," gumam Ify menjawab pertanyaannya sendiri. Ify berpikir sejenak. "Tapi, kenapa dia nggak menjemputku dan malah menyuruhmu?"

"Ma-maaf, Nona. Sudah malam, saya pamit." Farhan tidak menunggu sepatah kata pun dari Ify, langsung melarikan diri ke dalam sedan hitam itu.

Melihatnya, Ify mengangkat bahu, berusaha untuk tidak mengambil pusing. Ify ke Bandung untuk melupakan segala kerumitan hidupnya di Jakarta, termasuk dengan makhluk satu itu.

***

"Ini semua darimana, Ma?" tanya Ify ketika melihat setidaknya ada tiga buah parsel di atas meja makan. Satu di antaranya, sudah terkoyak plastik pembungkusnya dan hilang setengah pula isinya. Dapat ditebak siapa yang menghabisi buah-buahan itu, siapa lagi kalau bukan Ifa Kusuma?

"Mama nggak dapat ini dari dia, kan?" tanya Ify penuh penekanan di kata dia. Pertemuan pertama dengan Mamanya setelah empat tahun terakhir−jika kedatangan Ify di hari ketiga Papanya meninggal tidak terhitung−malah membuat tekanan darah Ify naik seketika.

"Nggak, Sayang. Bukan dari Daddymu kok," jawab Mamanya dari dapur, sedang membuatkan Ify susu vanila hangat karena sudah terlalu malam untuk makan bagi Ify.

Ify menghela napas sebal. "Dia bukan− Lupakanlah, Ma! Aku nggak mau berantem sama Mama gara-gara orang nggak penting." Sampai detik ini, Ify masih menghindari sebutan yang baru dilontarkan Mamanya. Karena dia nggak pantas dipanggil begitu, pikir Ify menahan marah.

"Ify! Kamu itu−"

"Kalau bukan, trus dari siapa, Ma?" tanya Ify cepat, sebelum Mamanya kembali berceramah mengenai mereka.

"Kakak ipar yang kasih, Kak!" seru Ifa saat menutup pintu kamarnya, sepertinya remaja itu enggan untuk tidur mengingat ini malam pertama kakaknya berada di rumah setelah sekian lama.

Marry Me If You Dare - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang