(37.1) The Answer

8.2K 701 8
                                    

Terimakasih untuk kesetiaan teman2 semua, dukungan kalian berupa vote dan komentar sangat berarti buatku. Semoga, part-part akhir ini ga mengecewakan ya.
Happy reading!
.
.
.

Part 37 – The Answer 
.
.

Cuma orang gila yang melamar lewat pesan singkat

Dan orang itu pasti gila karena cinta
.

Sivia memandangi pantulan dirinya di cermin dalam toilet khusus perempuan. Menyesali perbuatannya yang telah mengiyakan−secara tak langsung−untuk membantu Trio mendengar segala perbincangan mereka. Jika Ify tahu kalau Sivia telah selancang ini terhadap kehidupan pribadinya, mungkin sampai mati pun, gadis itu takkan memaafkan Sivia.

"Kasian Trio, memperjuangkan cintanya malah dianggap gila."

Ify merespon ucapan Sivia dengan mata menyipit tajam. "Orang yang tersakiti hatinya, doanya nggak tertolak lho, Vi."

Sivia langsung menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya membentuk huruf V sambil tersenyum kuda. Dia memutuskan untuk makan Kebabnya dalam keadaan hening, walau otaknya terus saja bekerja.

Gimana caranya Trio bisa masuk kampus tanpa ketahuan? pikir Sivia bingung. Permintaan lelaki itu sebelum Sivia sampai kampus membuat kepalanya pening sekali. Akhirnya, Sivia memutuskan untuk membiarkan ide itu datang dengan sendirinya saja, tanpa perlu dia cari secara paksa. Prioritasnya saat ini adalah memperbaiki hubungan persahabatannya dengan Ify. Jadi, Sivia memilih untuk kembali bersuara.

"Fy, sebenarnya..." ucap Sivia tersendat oleh getaran telepon genggam yang terasa dari dalam handbagnya. Trio, lelaki itu meneleponnya di saat sedang berhadapan dengan Ify. Jika telepon itu dia tolak, maka akan ada panggilan kedua, ketiga, dan seterusnya hingga Sivia menyerah dan menjawabnya. Sivia tak punya pilihan, dia pun mengangkat telepon tersebut dan membiarkan Trio menguping saja, mungkin dengan begitu, Trio akan melupakan idenya untuk ikut masuk ke dalam kantin kampus tempat SISA-an dulu belajar.

"Kok nggak dijawab? Siapa?" tanya Ify membuat Sivia tersentak.

"Oh, itu... biasalah, nawarin kartu kredit." Maafin gue, Fy, batin Sivia melanjutkan.

Sivia menggerakkan dirinya seolah memasukkan ponsel ke dalam tas, padahal ponsel tersebut dia letakkan di atas pahanya, agar tidak menimbulkan kecurigaan Ify.

"Fy, soal kemarin...."

"Gue udah maafin," sela Ify langsung sambil membuka bungkusan Kebabnya. "Gue akan sangat menyesal kalau kemarin melontarkan kata-kata yang nggak seharusnya gue ucapin. Thanks udah nampar gue."

Sivia tersenyum kecut. "Bukan cuma itu... tapi juga..."

"Kak Dimas orang yang cerdas. Seharusnya lo minta Kak Dimas mengundurkan diri dari SKO kalau lo terus diintimidasi Trio. Gue bener-bener nggak menyangka lo justru bersekongkol sama dia, buat nutupin pernikahan Alvin."

"Fy," panggil Sivia dengan nada pelan yang memohon. "Gue nutupin itu bukan karena Trio. Gue nutupin hal itu karena gue tahu lo bakal kecewa banget."

"Apa bedanya kecewa hari ini dengan kecewa besok? Semakin cepat gue tahu, gue akan punya banyak waktu untuk minta penjelasan Alvin. Tanpa perlu menjatuhkan harga diri gue di depan calon istrinya yang iblis itu!" hardik Ify, seolah yang duduk di depannya adalah wanita yang dimaksud.

"Ify!" seru Sivia mencoba mengingatkan. "Kita bukan di cafe. Remember?" Bagaimanapun juga, mereka mengobrol di lingkungan kampus, jadi dia harus mengendalikan emosinya jika tidak ingin menarik perhatian dan diusir security.

"Sorry, gue kelepasan." Ify menangkupkan kedua tangannya di wajah. Ada rasa sesal di hatinya memilih kampus untuk menghindari Trio yang bisa saja menguntit dan mencuri dengar obrolannya. "Gue bener-bener marah sama diri sendiri, selama ini gue terlalu naif. Tapi, gue malah cari-cari kambing hitam sebagai pelampiasan."

"Gapapa, Fy. Gue... ngerti." Sivia menelan ludah. Melirik ponselnya diam-diam, ketika Ify sibuk menenggelamkan wajahnya di tangan. Selera makannya benar-benar hilang sekarang. Apa lagi yang mau lo tahu? tanya Sivia berharap orang di seberang sana dapat mendengar isi hatinya.

"Gue mungkin nggak bisa datang ke pernikahan lo dan Kak Dimas."

Sivia mengangkat wajahnya, benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja sahabatnya katakan. "Fy! Jangan gitu dong, lo boleh marah, lo boleh kuras abis tabungan gue buat makan hari ini! Tapi, jangan absen dari hari yang paling penting dalam hidup gue!"

Ify mengangkat wajahnya yang nampak begitu frustrasi. "Gue hanya akan buat pernikahan lo punya aura menyedihkan."

"Ify!" rengek Sivia hampir menangis. "Dari kalian bertiga, lo yang paling gue harapin kehadirannya!"

Kepala Ify menggeleng. "Udah saatnya gue pulang. Gue sadar, gue sangat sangat bodoh selama ini. Gue mengorbankan segala hal buat Alvin, yang bahkan nggak berani memperjuangkan gue sama sekali."

"Pulang?" tanya Sivia ngeri. "Fy... jangan bilang lo berpikiran untuk−"

Ify nampak memaksakan senyumnya. "Gue nggak segila itu Sivia. Dulu gue pernah berniat mengakhiri hidup gue, karena gue terlalu muda. Sekarang nggak, gue tahu hidup gue mungkin nggak semenyenangkan hidup orang lain, tapi hidup gue layak untuk diperjuangkan.

"Waktu itu, saat gue nyaris bertindak bodoh. Justru Papa yang jadi korban. Gue cuma nggak bisa bayangin, siapa lagi yang akan jadi korban berikutnya kalau gue mencoba untuk mengakhiri hidup gue kayak dulu. Mama? Ifa?"

Ify memajukan tubuhnya ke dekat meja dan menatap intens iris Sivia yang basah. "Sivia. Lo menikah dengan orang yang lo dambakan selama ini. Gue turut berbahagia, dengan atau tanpa kehadiran gue di acara lo. Doa gue selalu ada tanpa lo minta. Dan..." Ify menghela ucapannya sejenak dengan menarik napas dalam. "Meskipun gue nanti nggak di Jakarta lagi, gue bisa pastikan satu hal sama lo. Gue akan baik-baik aja. Gue cukup dewasa sekarang untuk menerima keadaan, bahwa nggak setiap impian kita bisa jadi nyata."

Air itu kini benar-benar mengalir dari kedua pelupuk Sivia. Melihatnya, Ify tersenyum kecil.

"Lo mau nikah dua hari lagi, dan lo mau buat mata lo itu berkantung, hm?" kata Ify sambil menyodorkan selembar tisu yang langsung diterima Sivia dengan bibir mengerucut. "Via, seharusnya, gue yang menangis sekarang, karena gue yang ditinggal menikah, bukan lo," guraunya.

"Nggak lucu, Ify!" omel Sivia. "Gue seneng lo bisa terima keadaan. Dan juga mengikhlaskan Alvin−"

"Nggak, belum."

Sivia mengernyit.

"Gue cuma menstimulasi diri gue untuk menerima kenyataan. Bukan berarti gue sudah menerimanya."

.
.
.
Lanjut ke bagian dua ya, sengaja dipisah karena lumayan panjang dan bagian ini khusus untuk percakapan Sivia Ify saja.

131217

Marry Me If You Dare - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang