.
.
.
Damarion masih terus melangkah, berjalan melewati lorong megahnya begitu saja tanpa arahan dan tujuan.
Manik kelabunya menatap kosong, sama sekali tak memperhatikan jalan. Kepalanya terasa penuh dengan bayangan gadis tercintanya. Tapi kenapa? Kenapa sampai sekarang hanya untuk mengatakan 'Aku Mencintaimu' saja ia tak bisa?
Seakan ada yang mengganjal di dalam hatinya. Mengurung kalimat itu di balik tembok baja yang tak bisa Rion runtuhkan, hingga sampai saat ini pun tak pernah bisa terucapkan.
Kesal? Bukan main! Jika lidahnya bisa tumbuh lagi, ini sudah ke-sepuluh kalinya Rion mencabut lidah kelu itu dari mulutnya agar apa yang ingin diucapkannya bisa meluncur dengan halus. Tapi sayangnya ia tak bisa menumbuhkan lidahnya lagi, dan itu semakin membuatnya frustasi.
Menoleh sekilas, akhirnya langkah Rion terhenti juga. Berhenti tepat di depan ruang kerja. Mengisyaratkan para penjaga agar membukakan pintu untuknya.
Pintu berwarna perak itu pun terbuka, memperlihatkan meja -kursi lengkap dengan setumpuk kotak yang entah apa isinya.
Baru selangkah, Rion kembali berhenti tepat di ambang pintu. Melirik penjaga di sisi kirinya yang menunduk kian dalam saat menyadari bahwa sang pangeran sedang memperhatikannya. Memutar otak guna mengingat-ingat kesalahan apa yang pernah dibuatnya.
"Sudah berapa kali kau melihatku melewati lorong ini?"
Suara Rion menyentak si penjaga. Maniknya membelalak seperti mendapat pertanyaan dari malaikat maut yang siap menggorok lehernya. Si penjaga menelan saliva, mencoba setenang mungkin menjawab pertanyaan yang seperti pilihan antara hidup dan mati baginya.
"Li-lima kali, Pangeran," jawabnya dengan suara berat dan bergetar hebat.
Tak seperti bayangannya, wajah Rion yang tanpa ekspresi itu tetap tak berubah. Setelah mendengar jawaban dari si penjaga, ia melenggang masuk dengan menyentakkan jubahnya ke belakang.
Tak berselang lama, pintu kembali tertutup. Menyisakan Damarion di dalam ruangan luas yang bisa diisi lebih dari seratus orang jika ia mengadakan pertemuan di dalamnya.
Rion mendengus kasar. Merebahkan tubuh ke atas kursi berukiran rumit di depannya. Menyenderkan kepala dengan mata terpejam, dengan satu tangan memijat dahi yang berdenyut tak tertahankan.
"Lima kali?" Rion mengulang kata-kata sang penjaga dengan suara yang terdengar putus asa.
"Aku benar-benar sudah gila."
Sejenak, keheningan kembali tercipta. Pangeran tampan itu masih berusaha menjernihkan pikirannya. Merangkai kalimat indah yang menyuarakan isi hati pada sang gadis pujaan. Berharap sesaat kemudian lidahnya tak lagi kelu dan berbalik mendukungnya.
Hingga akhirnya, ia bisa mengakhiri kepura-puraannya bersikap angkuh dan menyebalkan selama ini. Berharap Hime akan menerimanya tanpa banyak bertanya, karena ia pun yakin jika gadis itu juga mencintainya.
Saat rangkaian kata mutiara hampir tercipta, senyum lebar hampir terulas penuh di bibirnya, tiba-tiba suara ketukan membuyarkan semuanya.
Rion kembali membuka mata dengan decakan dan sumpah serapah di dalam hatinya.
"Saya ingin menghadap, Pangeran. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Suara Calvert terdengar lantang di balik pintu karena ia memang sedikit berteriak.
Dengan decihan sebal, pria bersurai kelam itu akhirnya mempersilakan Calvert memasuki ruangan.
"Ada apa?" ucapnya datar seraya menatap Calvert yang membungkuk hormat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LILY & The DEMON PRINCE ✔️[diterbitkan]
Fantasy(18+) Bayangan yang mengisi kesunyian dalam kegelapan.. Mengisi kekosongan jiwa akibat luka terdalam.. Memberikan kehangatan dalam rengkuhan di setiap deraian air mata.. Kau... mengingatkan bahwa aku tak sendirian. Selalu ada dirimu meski dalam baya...